Saat itu usiaku mungkin baru empat atau lima tahun. Bapak mengajakku jualan kitab ke beberapa tempat. Kalau ngga salah waktu itu berbarengan dengan lebaran idul fitri. Pengalaman saat itu benar-benar sangat membekas sampai sekarang. Aku diboncengkan naik sepeda di belakang. Yang kuingat saat itu Bapak membawa Tas Hijau berisikan kitab-kitab. Barang dagangan yang memang dijadikan sebagai sumber nafkah sambilan, selain tentu saja bertani.
Kresek. Ya, nama itu masih kuuingat sampai sekarang. Bukan saja karena di situ terdapat sarean[1] mbah Umar (semoga Allah merahmati, menerangi kuburnya dan menempatkannya bersama orang-orang sholeh). Hal lain yang tidak membuatku lupa sampai sekarang adalah: jembatan Jongke. Jembatan gantung, memanjang sekitar 50-an meter. Aku benar-benar ketakutan saat lewat jembatan itu. Bukan saja karena jembatan itu tanpa pagar/dinding pengaman di kanan kirinya, tetapi juga karena sungai curam di bawahnya.
Aku merengek. Memohon kepada Bapakku, agar turun dari sepeda. Maka dituntunlah sepeda itu. Kami berjalan melewati jembatan. Tentu aku dengan mata nyaris terpejam. Mataku Cuma menatap lurus ke depan. Sedikitpun tak berani menengok kanan dan kiri. Dengan naluri kebapakannya, aku dituntun di sebelahnya. Menyusuri jembatan panjang yang sudah lama tak aku lewati lagi itu.
Tentang jualan kitab. Aku tak ingat persis, kapan Bapak memulainya. Yang aku tahu, beberapa kali, bahkan terlalu sering aku diajak silaturahmi ke Saudara, pesantren dan ustadz-ustadz yang punya santri. Aku juga sempat beberapa kali diajak beli kitab di Toko buku di Madiun. Sayang aku sudah lupa nama toko buku itu. Bapak sudah kenal baik dengan penjual toko buku itu, karena memang salah satu pelanggan setianya. Tidak aneh setiap ke toko itu Bapakku disambut dengan hangat. Yang menarik, setiap ke toko Buku itu Bapak dikasih semacam bulletin. Belakangan aku baru menyadari kalau itu adalah selebaran tentang gerakan revolusi Islam di Iran. Ya, revolusi Iran sekitar tahun 1970-an ternyata sempat diikuti juga oleh Bapakku. Sayang, aku tidak kesampaian berdiskusi hingga Bapakku wafat, bagaimana dia memahami selebaran-selebaran yang diperolehnya saat itu.
Sewulan, Pagotan, Dolopo, Takeran, Gorang-gareng, Mojopurno, Kresek, Kuwon, Temboro, Pehnongko-Paron, Tempuran, oro-oro ombo, Widodaren, adalah tempat-tempat di mana aku pernah diajak Bapakku jualan kitab dan bersilaturahmi. Beberapa tempat itu aku sudah lupa sekarang. Kalau harus ke sana lagi, mungkin tak bisa menemukan orang-orang yang dulu pernah didatangi Bapakku. Ya, kalaupun orang-orang itu juga sudah almarhum, aku masih terlalu kecil saat itu sehingga sulit untuk mengingatnya. Bapak juga pernah cerita pernah bersepeda ke Surabaya. Apalagi kalau bukan beli kitab untuk kemudian dijualnya lagi.
Belakangan, Bapak memang tidak intensif lagi jualan kitab. Sambilan lainnya adalah jualan genteng. Hanya sebagai penghubung saja. Orang-orang yang pernah didatanginya biasanya cari genteng di kampungku. Dan orang pertama yang ditemui adalah Bapakku. Kalau tidak salah kebiasaan ini masih berlangsung sampai usiaku menjelang kelas satu SD.
Pengalaman-pengalaman bersilaturahmi itu benar-benar membekas sampai sekarang. Betapa Bapak orang yang memang suka bersilaturahmi. Aku selalu diajaknya. Memang aku anak laki-laki terkecil kala itu. Adikku yang perempuan masih terlalu kecil untuk diajak pergi-pergi. Maka, akulah yang selalu beruntung diajak bepergian. Rupanya hal ini sangat berpengaruh terhadap perjalanan hidupku. Aku juga suka travelling. Mendatangi tempat-tempat baru, yang dari situ aku bisa membawa ’oleh-oleh’.
Kebiasaan Bapakku mengajak pergi juga aku lihat sebagai ekspresi kasih sayangnya. Aku benar-benar merasa sangat disayang Bapak. Rasanya, hampir semua permintaanku selalu dituruti sejak kecil. Urusan sekolah, semuanya diperhatikan. Ketika aku minta buku, atau ongkos untuk sekolah, semuanya selalu dipenuhi. Bukan itu saja, rasa sayang Bapakku juga ditunjukkan dengan tidak pernah dimarahinya aku, apalagi sampai melakukan kekerasan.
Ada kejadian lain yang juga membekas sampai sekarang. Kalau tidak salah saat itu Bapak habis mengantar Genteng ke Ngunut, salah satu tempat Kakakku. Pulang dari sana aku diajak naik bis. Di perjalanan, aku menangis meraung-raung. Penyebabnya adalah aku diajak naik bis jelek. Bis-bis di tahun itu memang tidak sebagus sekarang yang serba AC. Mungkin bis Ford, dengan monyong—tempat mesin---di depan. Karena aku tidak mau diam, Sang Sopir meminta Bapakku agar diajak turun saja. Aku lupa, apakah saat itu sempat melontarkan ke Bapak, mengapa aku menangis seperti itu. Tapi yang aku ingat sampai sekarang adalah gara-gara diajak naik bis ’jelek’.
Bapakku memang benar-benar orang yang sangat sabar. Sedikit banyak aku merasa mewarisi sifat ini.
Dari banyak hal yang pernah diajarkan Bapakku, paling berkesan adalah : bagaimana membiasakan makan sampai bersih. Benar-benar bersih, tak boleh ada sisa. Satu butir nasipun harus dihabiskan. Di rumah, atau setiap kali aku diajak ke warung. Makan harus bersih. ”Nek maem sing resik, ojo nganti sisa. Sopo ngerti barokahe nasi iku di butiran nasi terakhir”, begitu kata Bapakku berulang kali setiap makan bareng. Di rumah, di warung, atau saat dia membawa berkat yang aku nanti-nantikan sepulang kenduri. Aku sangat yakin, pelajaran yang Bapak berikan itu bukan hanya harga makanan masih mahal saat itu. Lebih dari sekedar itu, karena Bapak sangat mengerti ilmu atau makna barokah yang diperoleh dari nyantrinya selama hampir 13 tahun itu. Ah, benar-benar cerminan santri tulen, terutama bagaimana adab tentang makan.
Kamis, 3 Nov 2005. 23.30 WIB:
-------------------------------------------------------
[1] Sarean=kuburan, sebuah istilah Jawa halus, biasanya untuk menyebut tempat makam leluhur atau orang yang dimuliakan.
No comments:
Post a Comment