Sunday, December 9

Korban Tsunami 2004 (Testimoni-1)

Aku panggil saja namanya AAN. Umurnya 10 tahun lebih muda dariku. Habis lebaran Haji nanti, AAN akan menikahi gadis Peurlak, Aceh Timur. Meski awalnya orang tua gadis tidak setuju, AAN berhasil meminag si gadis dengan mahar emas 5 mayam. Sebuah mahar yang 'murah' untuk ukuran orang Aceh. Umumnya, mahar untuk meminang gadis Aceh, seperti yang pernah aku dengar bisa 10-15 mayam emas. Nilai mahar ini sangat ditentukan oleh status sosial keluarga si gadis. Semakin kaya, dan semakin tinggi pendidikannya, makin mahal lah mahar untuk meminang.

"Mahar itu, Bang, sebagai ganti atas biaya yang sudah dikeluarkan orang tuanya untuk membesarkan dan menyekolahkannya," kata AAN menerangkan mengapa ada ketentuan mahar di Aceh. Katanya lagi, untuk menyekolahkan anak hingga meraih titel sarjana, orang tua kadang harus menjual sawah, sapi, kerbau dan harta benda lainnya sehingga uang mahar itu bisa dianggap biaya pengganti. meski jika dinilai besarnya tidak sepadan dengan biaya yang sudah dikeluarkan untuk membesarkan dan menyekolahkan si gadis.

Menariknya, menurut AAN, justru yang menentukan mahar tinggi bukan dari keluarga-keluarga berada atau kaya. Golongan ini karena merasa sudah berkecukupan secara materi, maka tidak membutuhkan lagi harta dari pihak mempelai pria. Justru dari golongan menengah ke bawah lah yang biasa pasang mahar tinggi untuk menikahkan gadisnya.

Aku tidak tahu persis kesahihan cerita AAN, tetapi menurut teman kuliahku, mahar tinggi sebenarnya tak lebih sebagai tanda pengikat jadi. Soalnya, bila pihak mempelai gadis menentukan mahar tinggi, mereka biasanya menyediakan rumah atau sebidang tanah untuk diserahkan dan menjadi hak kedua pasangan yang akan menikah.

*****

AAN baru aku kenal hari itu. Dia aku minta untuk mengantarku ke Aceh Besar dan beberapa tempat yang harus aku datangi hari itu. Saat ini AAN hidup sebatang kara. Seluruh keluarganya menjadi korban keganasan tsunami, 26 Desember 2004. Delapan anggota keluarganya meninggal. Bapak, mamak, adik-adik dan kakaknya lenyap ditelan tsunami. Satu-satunya jenasah yang berhasil ditemukan adalah jenasah mamaknya.

Masih ada lagi keluarga AAN yang menjadi korban tsunami. Mereka adalah keluarga Bapaknya dari Sumatera Barat yang waktu kejadian sedang bersilaturahmi ke Banda Aceh. jumlahnya 6 (enam) orang. Total, AAN kehilangan 14 anggota keluarga.

Dikisahkan AAN, tiga hari sebelum tsunami, tepatnya hari Kamis, 23 Desember 2004 keluarganya datang jauh-jauh dari Padang untuk silaturahmi. Kebetulan esoknya salah seorang kakak AAN akan mengadakan selamatan dalam rangka ritual "Turun Tanah". Dalam
ritual "Turun Tanah" ini, seorang bayi yang sudah berusia sekian bulan--aku lupa berapa bulan persisnya--kaki si bayi akan dijejakkan ke tanah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana persisnya, tapi mungkin tidak jauh berbeda dengan tradisi yang masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa itu.

Namun ternyata takdir telah mengantar 6 orang keluarga AAN itu ikut pergi bersama bapak, mamak, kakak, adik dan keponakannya. benar-benar memilukan. Saat mengisahkan ini mata AAN berkaca-kaca dan nafasnya sedikit tertahan. "Sedih sekali saya bang, terutama kalau ingat mamak yang mayatnya saya temukan sendiri diantara tumpukan mayat lainnya," kata AAN menerawang.


*****

Keajaibanlah yang bisa menyelamatkan AAN. Hari itu AAN dan seluruh keluarganya ikut tersapu tsunami. Saat kejadian AAN baru saja mengantar ibu-ibu Persit--para istri TNI--ikut gerak jalan di lapangan Blang Padang. Karena gempa begitu besar, AAN khawatir terhadap keluarganya dan diputuskannya minta izin untuk pulang ke rumah di kawasan pantai Ule Leu. sekitar 3 kilometer dari Blangpadang.

Sampai di rumah AAN melihat mamaknya berlumuran darah karena tertimpa reruntuhan benda saat gempa terjadi. Bapaknya terkena pecahan kaca akuarium yang dijadikan pegangan sewaktu gempa mengguncang. AAN kemudian berhasil mengeluarkan mamak, bapak dan adik-adiknya menjauh dari rumah. Bersama tetangga yang lain, AAN kemudian mengambil posisi tepat di atas jembatan Ule leu yang masih kokoh bertahan sampai sekarang. Tidak lama kemudian, orang-orang berteriak "Air Naik, air naik !". AAN dan orang-orang di sekitar rumahnya tidak pernah menyadari bahaya 'air naik' itu. AAN hanya berpikir, air naik itu tak lebih dari gelombang pasang yang datang seperti biasa saat angin barat tiba. Namun AAN mulai panik bila menyaksikan orang berlarian tak karuan. Kereta-kereta--sebutan sepeda motor di Aceh--tancap gas. Pun Truk Reo, truk berat pengangkut pasukan TNI menerjang apa saja yang ada di depannya, termasuk orang-orang dan sesama anggota TNI yang berusaha menyelamatkan diri.

AAN panik. Dilihatnya ke arah Selatan, langit gelap gulita dan bukit di seberang Ule Leu sudah tak tampak. AAN mengambil langkah seribu. Namun, blazzzz.........gelombang air bah setinggi pohon kelapa menghantam tubuh AAN yang kerempeng itu. AAN tersapu gelombang setinggi pohon kelapa dan kecepatannya setara dengan kecepatan pesawat itu. Tubuhnya tanpa ampun dihantam benda-benda yang ikut dibawa gelombang ganas itu. Antara sadar dan tidak tangan AAN berhasil meraih tiang listrik. AAN mampu bertahan untuk beberapa saat. Apa daya tenaganya tak kuat menahan hempasan gelombang itu. Dan wuzzzzzzzzzz..terlepaslah pegangan itu. Tapi lagi-lagi ia diselamatkan oleh daun pintu. Di sebuah rumah yang dia tak tahu persis di mana lokasinya, tangannya berpegangan kuat-kuat pada daun pintu itu. Hanya kepalanya yang tersebul ke permukaan, sebatas leher. Sementara tubuhnya dihantam tak kenal ampun oleh kayu, puing-puing rumah dan benda keras lainnya. Benar-benar sakit tak terperikan. Kepalanya juga sempat dihamtam benda keras yang berakibat pendarahan. Lama-lama tenaga AAN habis. Dia mulai lemas dan matanya mulai berkunang-kunang. Beruntung, gelombang air bah itu mulai surut. AAN mulai sedikit lega. Berakhir lah penderitaan itu, pikirnya. Namun tanpa disangka-sangka, gelombang kedua datang menyusul dengan kekuatan dan kecepatan lebih dahsyat. Dan sekali lagi, blazzzzzz.....semuanya menjadi gelap.

AAN baru sadar setelah berada di pelataran RSU Zainal Abidin. Kata orang yang menyelamatkannya, dirinya ditemukan tak sadar diri di daerah Ujung Bateh. Sekitar 12 kilometer arah Timur Ule Leu. Benar-benar sebuah keajaiaban, tersapu gelombang sejauh 12 kilometer tetapi masih selamat.

*****

Seminggu setelah kejadian, AAN perlahan-lahan mulai pulih. Lalu nalurinya membawa dia untuk mencari anggota keluarganya yang lain. Dan hanya mamaknya yang berhasil ia temukan mayatnya. Hari-hari berikutnya, AAN ikut bersama relawan lain mengevakuasi mayat-mayat korban tsunami.

lalu sebulan kemudian, AAN memutuskan untuk pergi ke Sumbar. Memberi khabar dan menengok keluarga Bapaknya yang sebagian turut menjadi korban di Ule leu. Dari Banda Aceh ke Medan, AAN berhasil mendapat tumpangan mobil. Tapi dari Medan ke Padang, semua angkutan dan bus penuh. Tak satupun kendaraan yang distopnya mau berhenti. AAN baru mendapat tumpangan bus Kurnia setelah berjalan kaki hampir sehari penuh. Itupun setelah bersusah payah ia menjelaskan sebagai korban tsunami dan bersenjata 'bahasa Aceh'. Di Padang AAN masih harus berjuang untuk mencari tumpangan ke kampung bapaknya. Dari mulut ke mulut, orang di terminal tahu kalau ia korban tsunami. Lalu orang-orang mulai menggalang dana kemanusiaan. Karena AAN mengaku sebagai keluarga Minang di Aceh, maka simpati mengalir deras. Entah berapa juta yang terkumpul saat itu. Yang pasti akhirnya AAN berhasil tiba di kampung bapaknya yang disambut dengan isak tangis.

Bantuan masih terus mengalir, pemerintah daerah setempat mengundang AAN untuk menyampaikan testimoni tentang apa yang dia alami. Kembali, uang terkumpul puluhan juta rupiah. "Saya lihat sendiri bang, uang yang terkumpul malam itu diangkut dengan dua karung oleh panitia dari pemerintah daerah," terang AAN. Katanya lagi, uang yang terkumpul semua dan dia terima selama di padang tidak kurang dari 50 juta rupiah. Namun uang itu sudah habis, dibagi untuk keluarga bapaknya yang juga kehilangan kerabat dan dipakai untuk selamatan. Saat balik lagi ke banda Aceh, AAN hanya mengantongi uang 1 juta rupiah.

Setibanya di Aceh, AAN memulai kehidupan baru. Mulai jadi sopir di BRR, CARE, konsultan, jualan voucher, dan terakhir menjadi sopir di sebuah rental mobil yang mengantarku hari itu. Sayangnya, sampai hari ini AAN belum memperoleh rumah bantuan korban tsunami, meski jelas-jelas ia kehilangan 14 anggota keluarganya dan ia satu-satunya yang masih hidup. Kata orang BRR, saat ini yang lebih diutamakan adalah korban tsunami yang sudah berkeluarga. Untuk yang masih lajang sementara bisa tinggal di barak-barak pengungsian. Sekarang AAN tak punya tempat tinggal tetap. Tidur di mana saja dia mau.

Bersabarlah AAN, semoga setelah hari bahagiamu nanti, hidupmu akan berubah dan dibukakan segala kemudahan untukmu. Amiiiiiiiiiiiiin...

No comments: