Friday, April 6

Bukan Abdoel Namaku

Setiap diri, pasti memiliki lebih dari satu nama. Nama di akte kelahiran, panggilan akrab, panggilan sayang, nama olok-olok, nama selebritis, nama di kartu identitas (KTP, SIM, rekening Bank, kartu kredit), atau nama samaran. Aku sendiri memiliki beberapa nama.

Aku terlahir dengan nama Baladan Aminan. Penggalan ayat di Surat Al-Baqarah yang juga doa Ibrahim, artinya “Negeri yang aman Sentosa”. Sebenarnya aku suka dengan nama ini. Setahuku sampai sekarang belum ada orang dengan nama itu. Jika nama itu terus aku pakai, mungkin aku satu-satunya orang di dunia ini yang memiliki nama itu. Anehnya, kakakku tak setuju dengan nama itu. “Nama kok Baladan Aminan?”, katanya suatu kali.

Nama itu pemberian Bapakku (alm). Aku tak pernah tahu, mengapa Bapakku memberikan nama itu. Bahkan sampai bapakku meninggal, aku tak pernah berkesempatan menanyakan alasan apa yang mengilhami bapakku dengan nama itu. Soal nama, bapak memang sering diminta memberikan nama oleh orang-orang di kampungku. Aku tak tahu persis, berapa banyak orang-orang yang diberi nama atas rekomendasi bapakku. Mungkin karena bapakku sedikit mengerti bahasa Arab, maka orang-orang memercayainya untuk memilihkan nama. Ada Rosyidi, tetangga depan rumah, ada Rasyidi di pojok tikungan jalan. Juga ada Djamilah, tetangga jauh lainnya.

Di keluarga dekat, nama tinggalan Bapak : Muksin, Mu’in, Siti Rodliyah, serta nama-nama berbau Arab lainnya. Meski kakakku pernah mengungkapkan ketidaksetujuannya, bapak tetap konsisten dengan nama yang diberikan padaku. Saat aku didaftarkan di sebuah Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN)—aku cuma merasakan satu caturwulan di Madrasah—bapak mendaftakan aku dengan nama Aminan. Entah mengapa bapak tidak menyertakan Baladan di depan kata Aminan. Maka teman-temanku saat itu tahunya namaku ya Aminan.

Nama itu kini hanya menjadi bagian dari sejarah masa laluku. Meski begitu, sisa-sisanya masih ada sampai sekarang. Pakdhe, Budhe, Paklik, Bulik, juga beberapa sepupuku masih ada yang memanggilku Aminan sampai sekarang. Ini terjadi hanya pada moment-moment tertentu saja. Hanya setahun sekali. Saat aku bertandang ke rumah-rumah mereka di hari lebaran. Di luar itu, aku tetaplah Aku. Orang mengenaliku sebagai AMIN.

Nama Olok-olok

Waktu kecil aku sering bertengkar dengan adikku. Kalau bertengkar, adik perempuanku selalu mengolok-olok aku dengan damen, damen, damen. Ngga tahu dari mana adikku dapat kata-kata itu. Tapi aku jelas jengkel waktu itu kalau dipanggil damen. Mungkin damen diambil dari amin, lalu amen, lalu damen. Asal tahu saja, damen di kampungku adalah sebutan untuk batang padi yang sudah dikeringkan. Biasanya untuk makanan ternak (sapi, boss!). Makanya kata damen berkonotasi jelek. Makanan ternak. Marahlah aku bah!, kalau dikatain begitu hehe. Tapi syukurlah, Cuma adikku yang memanggilku begitu. Tak sampai diadopsi teman-teman sebaya waktu itu.

Olok-olok lainnya, satu-dua orang teman di SD memanggilku Minthun. Tentu ini diambil dari kata A-min, lalu minthun. Seperti halnya olok-olok damen, panggilan minthun terhadapku juga tidak bertahan lama. Kalau tidak salah cuma sampai kelas dua atau kelas tiga SD. Sejujurnya, aku diselamatkan oleh keadaan. Karena waktu naik ke kelas empat, aku pindah sekolah ke lain kota. Tak ada teman baruku yang memberi olok-olok itu, ataupun dengan olok-olok baru.

Nah, olok-olok terakhir yang aku sandang adalah : MINCES. Ini olok-olok yang aku sandang setelah tinggal di Jakarta. Biangnya cuma satu orang, dan yang memanggil itu cuma satu orang (ga usahlah aku sebut namanya orang itu). Gara-garanya ada orang yang sering bertandang ke kantorku yang bernama MINTJE (asli dari Ambon sana), tapi sering dipanggil Minces. Cas..ces..cas..ces aja teman-temanku memanggil perempuan ‘tangguh’ ini. Sampai sekarang, teman yang menggelariku Minces ini kalau ketemu ya masih cas..ces..cas..ces saja. Kayaknya tradisi anak-anak pecinta alam terbawa-bawa sama nih teman.

Mengapa Abdoel?

Tidak hanya satu orang yang berusaha mencari tahu, mengapa namaku menjadi Abdoel. Orang-orang yang penasaran dengan nama baruku, tak pernah kutanggapi. Setiap ada yang menyinggung itu, kubiarkan berlalu saja. Tidak penting gitu lohh !

Abdoel, waktu itu aku tulis spontan saja. Meski alasannya waktu itu memang bermaksud menyamarkan diri di situs Fs. Maklum, aku ngerasa terlalu tua untuk nimbrung di Fs. Malu hati gitu. Aku sadar sepenuhnya, cara yang kutempuh ini diluar kelaziman. Melanggar kaidah-kaidah ber-Fs. Kalau niatannya ikut Fs, ya harus membuka diri, siapa diri kita yang sebenarnya. Apalagi soal nama, mestinya ditempatkan sebagai hal yang pertama dan utama tentang keterbukaan dan keterusterangan kita.

Kalau kemudian aku memilih nama Abdoel, ilhamnya aku dapat sepert ini : Bapakku, selalu menamai kitab-kitab koleksinya dengan Abdullah Kirom. Kalau orang Jawa suka mengejanya dengan Ngabdolah kirom. Persis seperti mengeja Arifah menjadi Ngarifah, Aisyah menjadi Ngaisyah, Aliman menjadi Ngaliman, Abdurrahman menjadi Ngabdurrahman, Ahsanu ‘Amala menjadi Ahsanu Ngamala, atau Adenan menjadi Ngadenan. Cara mengeja yang salah kaprah. Padahal tidak semua kata-kata yang dieja dengan Nga itu mewakili huruf ‘Ain dalam bahasa Arab, tetapi ada yang mewakili huruf Alif.

Abdoel, aku ambil dari Abdullah Kirom itu. Aku sendiri sebenarnya bingung dengan nama Bapakku. Di kitab-kitabnya tertulis Abdullah Kirom, tetapi di semua ijasahku tertulis Muhammad Kirom, biasanya tertulis Moch. Kirom. Orang kampungku kadang mengenali-nya dengan pak Amat Kirom. Oalah wong ndeso, wong ndesoo…, Muhammad kok jadi Amat. (Maklumlah, buta bahasa arab, dan lidah Jawa yang kebanyakan ngemut yang manis-manis hehehe).

Hi honey, panggilan sayangmu siapa? Atau olok-olok macam apa yang pernah kamu sandang???? Ssssssttt….Tuhan melarang kita memanggil orang dengan sebutan atau gelar-gelar yang buruk. Ini di Qur’an lho!!! Karena dalam nama terkandung doa. Doa yang diberikan orang tua, agar pencapaian kita seperti arti di nama itu. Seperti namaku sekarang : Aminuddin (dobel D) Kirom (Ini nama tambahan, biar kalau ngurus paspor atau Visa gampang).

Jadi, besok-besok kalau mau menamai anak, jangan asal keren aja ya, atau sekedar penanda sesuatu. Sisipkanlah doa di dalamnya!! Nah, jelas kan sekarang? Namaku bukan Abdoel. Panggil Amin saja. Mas Amiiiiiiiiiiiiiiin…..sambil menggelayut (mengutip mba Henny Navilah, waktu mengevaluasi LPJ Ketua Umumku dulu). ###

08 November 2006

No comments: