Tepat pukul 17.40 WIB Garuda take off dan menerbangkan aku ke Jogjakarta. Satu jam lebih lambat dari jadual seharusnya. Aku tak peduli, apalagi sampai mengumpat gara-gara keterlambatan itu. Toh delay sudah hal yang lumrah. Berapa banyak sih jadual penerbangan yang tidak mengalami penundaan? Semua orang pasti pernah mengalaminya. Aku sendiri tak ingat persis, keterlambatan yang ke berapa kali ini. Karena kemungkinan terburuk seperti ini hampir selalu terjadi, aku selalu menyiapkan mental : tidak perlu marah-marah bila akhirnya benar-benar terjadi.
Apa yang aku alami, dan mungkin dialami oleh hampir semua penumpang pesawat di Indonesia hanyalah potret betapa tidak berdayanya kita. Perusahaan penerbangan, seperti halnya corporat-corporat di semua bidang, selalu tak mau ambil pusing atas kerugian yang dialami konsumen. Tragis memang, saat kita dirugikan tak ada kompensasi yang dipikirkan perusahaan. Tapi kalau mereka yang kita rugikan, kemanapun kita akan dikejar, kalau perlu sampai ke liang kubur. Sungguh tak berdayanya kita.
Perjalanaan Jogjakarta-Jakarta aku tempuh selama kurang lebih lima puluh menit. Separuh perjalanan itu, aku terlelap setelah meneguk jus apple suguhan ‘bidadari-bidadari’ pesawat itu. Mungkin cuma kebetulan, setiap naik pesawat ini, minuman yang kupesan selalu jus apple. Begitu segar, dan aromanya membangkitkan nafsu untuk meneguk dan meneguk terus.
Di Adi Sumarmo, mas G menungguku. Aku sudah dipesan sebelumnya oleh mba S kalau akan ada yang menjemputku. “Nanti ada yang menjemputmu Mas, orangnya bawa tulisan namamu,” pesan mba S via telephone. Benar, setelah aku ambil barang dari bagasi, di depan pintu keluar aku lihat laki-laki sebayaku sambil mengangkat kertas bertuliskan namaku. Aku pun melambaikan tangan. Lalu kujabat tangannya sambil tak lupa memperkenalkan diri. “Amin,” sapaku mencoba ramah. “G”, balasnya sambil tersenyum.
Kami pun melangkah keluar, menuju Kijang Kapsul di parkiran. Sesaat kemudian mobil meluncur membawaku ke Parangkusumo. Selama perjalanan kami ngobrol ngalor-ngidul. Mas G, lelaki yang mengaku baru dikaruniai buah hati ini asli Bandungan, Magelang. “Teman kuliahku dulu banyak yang dari Magelang Mas, dari Bandungan, Muntilan, Payaman, Salaman. Buanyak pokoknya”, aku menyela. Karena aku menyebut Bandungan, dengan antusias Mas G bertanya, “ Siapa nama teman mas Amin dari Bandungan?. Akupun menjelaskan identitas salah satu teman terbaikku waktu kuliah itu. Ternyata mas G tidak kenal.
Obrolan terus berlanjut. Mas G menanyakan umurku, juga pekerjaan, alamat asal dan mengapa aku masih betah melajang. Pertanyaan terakhir ini ternyata jadi panjang. “Ya belum ketemu jodoh mas,” jawabku. “Belum ketemu jodoh, atau memang belum niat cari jodoh?” katanya lagi sambil terkikik.
“Benar kok mas, kalau niat cari jodoh itu sudah dari dulu. Tapi namanya belum jodoh, ya gimana lagi. Dinikmati saja Mas,” aku membela diri.
Sepertinya Mas G sangat memahami penjelasanku. Katanya, jodoh itu memang tak bisa ‘dikejar’. Dia dulu bergonta-ganti pacar, alias tak berjodoh, meski dia sendiri sebenarnya mengaku untuk serius menjalani pacaran itu. Bahkan dia mengaku sudah pernah bertunangan, tapi akhirnya gagal juga. Istrinya sekarang ternyata perempuan yang tak pernah disangkanya. Istrinya dulu adalah adiknya di salah satu pesantren di Magelang. Selama itu si perempuan ini menganggapnya sebagai kakak. Mas G juga menganggap perempuan itu sebagai adik. Dua keluarga mereka saling mengenal baik. Momentum perjodohan itu semakin dekat ketika Mas G mengajak ‘adiknya’ itu ke acara kawinan adik kandungnya. Di acara kawinan itu si adik ikut bantu-bantu di dapur. Saat itulah banyak saudara Mas G menanyakan perempuan ‘misterius’ itu. Setiap ada kerabat dekat yang bertanya, kakak dan saudara-saudara Mas G selalu nyeletuk, “Ini calonnya Mas G”.
Setelah hajatan kawinan kelar, si perempuan itu mencoba klarifikasi atas ketidakenakan yang dialaminya selama hajatan. Ditanya begitu, Mas G pun dengan kelelakiannya berterus terang untuk menawari si perempuan sebagai istrinya. Singkat cerita, jadilah pasangan itu sebagai suami istri yang sekarang sudah diberi momongan usia 8 bulan. Sejak punya momongan itu, Mas G sekarang harus bolak-balik tiap hari Jogja-Magelang.
*****
Parangkusumo. Itu nama pantai. Pertama kali mendengar nama itu saat masih SMA. Salah satu kegiatan ekstra kurikuler di SMA ku adalah beladiri Merpati Putih. Anak-anak biasa menyebutnya EMPE. Waktu itu semua anggota empe harus ke Parangkusumo untuk mengikuti ritual kenaikan sabuk. Aku tak tahu apakah setiap kenaikan sabuk ritualnya mesti dilakukan di Parangkusumo, karena aku sendiri bukan anggota empe, tetapi perguruan pencak lainnya.
Parangkusumo, bagi masyarakat Jawa dan Jogja khususnya, tempat ini memiliki makna khusus. Kawasan pantai yang secara administrative masuk kabupaten Bantul ini, bukan sekedar tempat plesiran, tetapi juga tempat untuk menyepi dan olah kebatinan lainnya. Bagi sebagian orang, Parangkusumo juga dijadikan lokasi untuk mencari penglaris, pangkat, jodoh, dan seabreg kebutuhan dunia lainnya. Orang Jawa juga meyakini bahwa Parangkusumo merupakan tempat berkomunikasi raja-raja Jawa dengan penguasa Laut Kidul.
Kepergianku ke Parangkusumo sudah kurencanakan jauh hari. Meski begitu aku tak punya persiapan khusus. Meski sempat membuat beberapa lembar coretan, ternyata itu tidak jadi kupresentasikan. Hari ini aku menjadi semacam observer untuk sebuah hajatan nasional Kongres Rakyat Sadar Bencana yang difasilitasi oleh Yakkum Emergency Unit. Tidak kurang dari 1000-an orang tumplek bleg di Parangkusumo. Selama tiga hari mereka berdiskusi, sharing pengalaman, termasuk gladi/simulasi menghadapi bencana.
Hari pertama, aku sempatkan diri untuk menikmati deburan ombak dan semilir angin pantai itu. Hawa pantai terasa panas, untungnya langit berselimut mendung jadi panasnya sedikit berkurang. Hamparan pasir sepanjang hampir lima kilometer seolah membawaku berada di tengah-tengah gurun sahara. Di beberapa titik terdapat gunungan-gunungan pasir. Gunungan pasir ini terbentuk karena hembusan angin timur dan barat yang datang silih berganti sepanjang tahun. Karena ada benda, pohon atau bangunan yang menahan hembusan angin berpasir itu, lambat laun jadilah gunungan. Ada yang tingginya dua meter, tiga meter, bahkan ada yang hampir menyerupai bukit. Kira-kira 10-an meter lebih tingginya.
Aku berjalan menyusuri pantai itu. Galur-galur pasir menyerupai riak air membuat mata ini semakin teduh. Sesekali aku jumput pasir itu. Lembut di tangan. Sebagian butiran pasir itu lengket di tangan. Mungkin ini karena kandungan garam yang masih tersisa di pasir itu. Belum benar-benar habis tersedot matahari. Selain itu, pasir di Parangkusumo juga mengandung butiran besi. Bahan mineral yang memang terdapat di hampir semua pantai selatan Jawa. Dengan mata telanjang, aku bisa melihat serbuk hitam diantara butiran-butiran pasir itu. Ini mengingatkanku waktu masih kecil menaruh pasir di atas kertas, lalu di bawahnya aku gerak-gerakkan besi magnet. Lama-lama terkumpul serbuk hitam yang sedikit lengket kalau dipegang.
Entah aku harus menyebut beruntung atau merugi. Hari itu tidak banyak wisatawan yang berkunjung ke Parangkusumo. Di satu sisi aku lebih bebas menikmati deburan ombak dan birunya laut Kidul. Hening, tidak terusik oleh kegaduhan pengunjung pantai. Tapi di sisi lain, aku tak bisa menjadi saksi bagaimana perilaku pengunjung pantai itu secara lebih nyata. Kata penduduk situ, Parangkusumo selalu ramai terutama pada malem Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon. Petungan hari yang menurut orang Jawa dianggap sakral. Di dua hari itu, orang dari berbagai tempat dengan beragam latarbelakang ‘berlomba’ melakukan nyepi. Ada yang tidur-tiduran semalam suntuk, ada yang bersila menghadap laut, ataupun duduk dengan kedua lututnya tertekuk dan disandarkan ke dada. Mereka semua, menunggu wangsit, berharap karirnya menanjak, dagangannya laris, ditemukan jodoh, atau sekedar dapat nomor togel. Satu lagi bukti, bahwa modernitas belum berhasil menggilas ‘kearifan-kearifan lokal’ yang diwarisi turun temurun itu.
Sayang, pemandangan seperti itu hanya aku dengar dari cerita orang, tidak pernah aku saksikan langsung. Kalau tidak kali ini, mungkin kali lain aku bisa datang lagi dan melihatnya secara langsung.
Hari kedua, aku kembali lagi melihat pantai yang cuma berjarak 100-an meter dari tempatku menginap. Sepi, hanya satu dua orang duduk-duduk memandang ke laut lepas. Salah satu orang yang ada di situ coba aku sapa. Lelaki berumur—mungkin diatas 60 tahun—itu mengaku dari Solo. Setelah berbasa-basi memperkenalkan diri, lalu mengalirlah obrolan antar kami berdua. Aku memilih lebih banyak diam, mencoba menjadi pendengar yang baik.
“Bapak panitia atau asli sini?” tanyaku memulai pembicaraan. “Bukan, saya dari Solo”, jawabnya ramah. Lalu aku menjelaskan kalau aku sebenarnya asli Madiun, tapi sekarang tinggal di Jakarta. Tidak ketinggalan kalau aku cerita dulu pernah kuliah di Solo, ambil komunikasi.
“Saya dulu kuliah ambil Perbankan Trisakti,” katanya membuka identitas dirinya. “Kemudian saya ditugaskan ke Jerman, dan menetap beberapa lama di sana. Sekarang saya ya begini ini, ke mana saya suka dan memilih apa saja yang ingin saya lakukan,” katanya lagi.
Penampilan orang ini sedikit lusuh. Tadinya aku meragukan kalau dia benar-benar pernah menetap di Jerman. Tapi keraguanku terjawab, setelah ngobrol panjang ternyata orang ini memang ‘melek’ banyak hal. Bahkan beberapa kali dia menggunakan bahasa Inggris. Bukan cuma ungkapan, tapi juga kalimat utuh untuk menjelaskan sesuatu. Dari sekedar basa-basi, obrolan akhirnya mengalir ke hal-hal yang menurutku lumayan serius. Kalau tadinya sama-sama berdiri, akhirnya kami berdua duduk di hamparan pasir pantai itu.
Nyaris tanpa putus, lelaki yang tak pernah menyebutkan nama ini ‘menghujat’ kebobrokan yang terjadi di negeri ini. Kedua tangannya tak pernah diam. Beberapa kali dia juga mengutip teori komunikasi yang pernah aku pelajari di kampus dulu. Lalu, jari-jarinya sibuk membuat coretan-coretan di atas pasir. Tak lupa ia mengutuk betapa tidak becusnya Negara ini mengurus bencana. Koordinasi tumpang tindih, birokrasi yang bertele-tele, juga penilepan dana-dana bantuan kemanusiaan membuat dia seperti orang frustasi. Tak percaya lagi dengan semua yang dilakukan penguasa sekarang.
Kalaupun aku tidak setuju dengan apa yang disampaikan, aku hanya diam. Aku tidak mau berdebat dengan orang yang baru ketemui itu, dan praktis tidak kukenali. Jika setuju, aku pun hanya mengangguk, atau cukup berucap:”ya..ya..ya”. Obrolan akhirnya terhenti setelah orang itu minta pamit untuk melanjutkan laku.
*****
Katanya, dulu sewaktu HB X berkuasa, dia secara rutin datang ke Parangkusumo. Salah satu petilasan yang masih ada sekarang adalah Cempuri. Ini adalah tempat khusus, dimana para selir dikumpulkan, lalu satu persatu digilir untuk melayani sang Raja. Aku tak sempat menengok tempat ini. Lokasinya berada di atas bukit kapur, dan lebih dekat ke Parangtritis. (Pantai Parangtritis, Parangkusumo, dan Parangendog masih berada dalam satu garis pantai. Ketiganya bersambungan dalam radius lima kilometer).
Sekarang Cempuri hanya menyisakan sejarah. Raja-raja Jawa terakhir tidak pernah lagi menggunakan tempat itu untuk menyalurkan hasrat biologis para leluhurnya yang melebihi takaran manusia kebanyakan itu.
Ada kenyataan menarik—meski ini tak ada hubungannya dengan warisan raja-raja Jawa itu---bahwa di Parangkusumo menjamur praktik mesum. Bukan hanya dilakukan oleh para pramunikmat dan lelaki hidung belang, tetapi juga oleh pasangan muda-mudi yang lagi mabuk kepayang. Di siang hari, keadaannya terlihat normal seperti biasa. Tidak ada perempuan-perempuan menor dan berlaku genit menyapa pengunjung. Tapi di malam hari---seperti malam pertama kedatanganku---di wisma-wisma yang aku lewati banyak perempuan memajang diri. Kata warga setempat, perempuan-perempuan itu bukan asli sini, tetapi semuanya pendatang. Hmmm..efek berantai yang selalu muncul oleh berkembangnya tempat wisata.
Ahh..aku tak perlu mengomentari kenyataan itu. Biarlah itu diurus Negara, pemuka agama, atau para pekerja kemanusiaan yang sedang giat memperingati Hari AIDS Sedunia hari ini.
Hari terakhir, aku menyempatkan diri sekedar jalan-jalan di Malioboro. Pesona Malioboro tetap tidak berubah. Pengamennya, barang dagangannya, keramahan pedagangnya, atau bagaimana berdesak-desakannya pelancong memilah-milih barang yang diburunya. Murah dan unik, dua kelebihan ini barangkali yang menyedot ketertarikan pelancong dari waktu ke waktu untuk tidak pernah melewatkan Malioboro.
Kurang afdol kalau orang ke Jogjakarta tanpa mampir ke Malioboro. Dari tempat ini orang bisa memperoleh cinderamata yang serba batik itu. Ada sandal batik, sepatu batik, tas batik, sarungbantal batik, baju-kaos-celana-daster batik, atau kerajinan perak dengan segala bentuknya: sepeda onthel mini, perahu mini, kalung, gelang dsb.
Satu hal yang benar-benar mengobati kerinduanku adalah: makan di warung koboi, angkringan, atau HIK kata wong Solo. Setiap ke Jogja, juga ke Solo, kesempatan untuk wedangan di warung koboi nyaris tak pernah kulewatkan. Ini tak ada hubungannya dengan nostalgia, tapi setiap bisa nongkrong di HIK, kelegaan itu benar-benar terbayar.
Minggu sore, aku balik Jakarta. Kali ini tak ada delay, benar-benar sesuai jadual. Jakarta….aku datang lagi.
29 November 2006
No comments:
Post a Comment