Namanya Kang Ucup. Tapi dia bukan Ucup Kelik, salah satu tokoh di Republik BBM. Kang Ucup yang kumaksud adalah orang berpengaruh di Republik ini. Pria berperawakan kecil ini aku kenal beberapa tahun silam. Sebenarnya dibilang kenal juga tidak, tapi aku sempat bertemu beberapa kali, meski sekedar berjabatan tangan atau mendengar gurauannya.
Dulu, dia ‘bukan siapa-siapa’. Orang mengenalnya tidak lebih sebagai konglomerat pribumi dari Indonesia Timur. Perubahan politik sejak reformasi 1998 akhirnya telah ‘menyeret’ Kang Ucup ke tampuk kekuasaan.
Awal pertemuanku dengan Kang Ucup sebenarnya tidak ada yang luar biasa. Semuanya berjalan normal, sebagaimana pertemuanku dengan orang-orang hebat lainnya. Tentu saja pertemuan yang paling sering terjadi adalah saat bulan Ramadhan. Orang-orang tua, dari tahun ke tahun selalu mengadakan buka puasa secara bergiliran. Tanpa terkecuali buka puasa di rumah Kang Ucup. Juga pertemuan-pertemuan saat halal bihalal. Rumah Kang Ucup yang pertamakali aku datangi adalah rumah di daerah Menteng, dekat Taman Suropati. Di rumah inilah, aku dan rombonganku biasanya ‘menyambangi’ Kang Ucup. Ini terjadi sekitar akhir 2000, saat-saat awal aku menginjakkan kaki di Jakarta.
Rumah berikutnya yang aku datangi di Jalan Denpasar, kawasan Kuningan. Kalau tidak salah pada pertengahan tahun 2003. Saat itu, kami mencoba mengadukan nasib, meminta solusi atas konflik yang terjadi antar kami. Sebagai salah satu orang tua, dan waktu itu dia menduduki posisi strategis di republik ini, kami percaya bahwa suara Kang Ucup akan didengarkan oleh adik-adiknya. Sayang, konflik berkepanjangan dan sudah kronis antar kami ternyata tak bisa diselesaikan pada pertemuan malam itu. Padahal waktu itu kami sangat berharap, pernyataan-pernyataannya yang sedikit menguntungkan kubu kami, bakal membuat lawan kami keder. Nyatanya tidak. Konflik tetap berlangsung, dan baru bisa didamaikan akhir tahun 2004.
Aku bertemu lagi dengan Kang Ucup, awal tahun ini, menjelang hajatan Makassar. Seperti biasa, kami mendengarkan ’ceramahnya’, lalu ditutup dengan jabatan tangan. Di pertemuan ini, aku sendiri punya dua misi. Pertama, terkait dengan hajatan Makassar, dan kedua, aku ingin melobbynya untuk membuka acaraku di Padang. Hanya misi pertama yang berhasil, sementara yang kedua gagal, karena ada persoalan teknis. Kalau tidak salah, pertemuanku dengan Kang Ucup di selatan Monas ini adalah kali pertama sejak ia menjadi orang penting di republik ini. Sejak itu, aku belum ketemu lagi dengan Kang Ucup. Maklum, bukan perkara mudah sekarang kalau ingin ketemu Kang Ucup. Terlalu banyak aturan kalau ada orang yang ingin menemuinya. Saat itu saja aku hampir tertolak, gara-gara mengenakan jeans. Untungnya, jeansku berwarna gelap. Jadi aku lolos dari ’hadangan’ para bodyguardnya yang sangar-sangar itu.
Tadi malam (17/9), aku mendengarkan lagi ’ceramah’nya Kang Ucup. Kali ini Kang Ucup didaulat untuk memberikan sambutan di acara kangen-kangenan dan hari jadi paguyuban kami. Ada yang sedikit berubah dengan penampilan Kang Ucup tadi malam. Kalau biasanya Kang Ucup ’cuma’ mengenakan kemeja putih panjang, tanpa dimasukkan, tadi malam ia mengenakan stelan jas lengkap dengan dasinya. Penampilan paling keren yang pernah kulihat.
Seperti biasa, di setiap sambutan-sambutannya, Kang Ucup selalu melontarkan guyonan-guyonan segar. Memang guyonannya tidak selucu Gus Dur. Namun, aku merasa ceramah dan sambutan Kang Ucup tidak pernah membosankan. Kocak dan lugas. Menariknya lagi, Kang Ucup selalu memberikan sambutan tanpa teks, kecuali di acara-acara kenegaraan saja. Aku akui Kang Ucup memang pintar dan percaya dirinya sangat tinggi. Saking percaya dirinya, kadang ia membuat pernyataan-pernyataan blunder. Kalau sudah begitu, wartawan lah yang paling diuntungkan. Lihat saja, bagaimana dia membuat statemen tentang perundingan RI-GAM, pernyataannya tentang ’kandang ayam’ yang menyulut kemarahan para guru, atau pernyataannya terkait pemberlakuan Perpres 36/2005 tentang pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur.
Tadi malam Kang Ucup menyinggung soal perda Syariah, masa depan paguyuban kami, peran Indonesia di percaturan global, dan potensi sumberdaya alam Indonesia untuk mengatasi keterpurukan saat ini.
Soal perda syariah, Kang Ucup bertutur soal pembelaannya atas pertanyaan-pertanyaan wartawan asing. Bagi Kang Ucup, tidak ada yang salah dengan perda syariah. Dalam pandangannya, perda syariah tak lebih dari peraturan biasa untuk menertibkan ketidakteraturan sosial yang ada. Dan menurutnya itu sebagai hal yang wajar, apalagi dikontekskan dengan otonomi daerah. Daerah-daerah memiliki hak untuk mengatur daerahnya, sebagai konsekuensi pemberlakukan otonomi daerah yang sudah menjadi konsensus nasional. Menurutnya, tak perlu dipersoalkan mengapa muncul perda antiminuman keras, atau perda anti pelacuran. ”Memangnya di negeri Anda (Barat dan Eropa), minuman keras tidak dilarang? Bukankan disana minuman keras hanya dibolehkan untuk orang-orang yang sudah berusia 18 tahun ke atas. Tidak ada ceritanya anak-anak umur 10 tahun boleh menenggak minuman keras. Jadi perda syariah itu hanya untuk mengatur ketertiban saja”, bela Kang Ucup.
Meski begitu, Kang Ucup menentang keras terhadap upaya kelompok-kelompok tertentu yang menginginkan pemberlakuan syariat Islam di Indonesia (sebagai hukum positif). ”Mau menegakkan syariah Islam, memangnya selama ini kita tidak menerapkan syariah Islam? Sejak lahir, saya dan orang tua sudah menerapkan syariah Islam. Apakah selama ini ada hambatan untuk menjalankan sholat, puasa dan kewajiban syariah Islam lainnya?, gugat Kang Ucup.
Demikian juga soal penerapan hukum rajam dan potong tangan. Sekarang ini Cuma Arab Saudi yang masih menerapkan hukum itu (aku sebenarnya tidak terlalu yakin kalau Cuma Arab Saudi). Kalau hukum rajam diterapkan di Indonesia, akan ada banyak kendala. Coba bayangkan, katanya. Akan sangat sulit untuk menjatuhkan hukuman atas pelaku perbuatan zina. Tidak saja dibutuhkan 4 orang saksi dewasa yang waras, tetapi saksi itu juga harus melihat dengan mata kepala sendiri saat “timba dimasukkan dan dikeluarkan dari sumur”. Saat mengatakan ‘timba dan sumur’ ini Kang Ucup minta maaf. Istilah itu dia pakai untuk menggantikan beradunya dua alat kelamin orang yang melakukan perzinahan. Jadi hukum rajam itu akan sia-sia saja kalau diterapkan di Indonesia.
Pada kesempatan itu Kang Ucup juga menyinggung soal peran ekonomi penopang negara. Katanya, Negara itu diperhitungkan kalau ekonominya kuat. Lihat saja, katanya, ”Singapura itu meski kecil, tapi kalau Lee Kuan Yew ngomong ya didengarkan orang. Demikian juga Malaysia, kalau Mahathir ngomong ya diperhitungkan orang. Lha, kita?. Bagaimana bisa didengar, sementara kekuatan ekonomi kita tak bisa memengaruhi negara-negara lain. Tidak usah jauh-jauh, pengaruh ekonomi kita di negara kawasan Asia Tenggara saja sangat kecil. Karena itu Kang Ucup mengingatkan lagi, era pasar bebas sekarang tidak bisa tidak harus dihadapi Indonesia. Dan itu butuh pengerahan segala sumberdaya yang dimiliki Indonesia.
Meski begitu Kang Ucup masih punya kebanggan, yaitu soal sebutan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia. Sebenarnya kan Ucup tidak setuju dengan predikat negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. ”Justru kita ini sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Presiden dan Wapres kita dipilih secara langsung oleh rakyat, tidak kurang dari 70 juta. Di Amerika, pemilih yang menggunakan hak pilihnya tak lebih dari 40%, dan jumlahnya tidak lebih dari 60 juta pemilih. India, pemilihan presidennya tidak langsung, tetapi ditunjuk oleh parlemen (?).
Terakhir, Kang Ucup mengingatkan agar para alumni paguyuban ini tidak marah-marah kepada pemerintah. ”Kalau Anda marah-marah, sebenarnya Anda memarahi diri Anda Sendiri. Coba lihat, Ketua MK-nya orang kita, Ketua BPK orang kita, Ketua MA orang kita, Wapres juga orang kita. Lha kok masih marah-marah (?????).
Bukan marah Kali Kang, tapi ngritik. Boleh dong, rakyat ngritik penguasanya. Katanya bangga sebagai negara demokrasi terbesar, masak ngritik aja ndak boleh ????????
21 September, 2006
No comments:
Post a Comment