…..Peluhku berjatuhan,
Menikmati sentuhan,
Perasaan yang teramat dalam,
Rindu ini t’lah sekian lama terpendam…..
Aku tak hafal lagu Rindu, karya Eros Djarot yang dipopulerkan oleh Frida Luciana itu. (tapi kalau tanya mas BEM, pasti dia tahu). Lirik lagu itu, menurut temanku porno. (Halah...hari geneee...baru ngomong tentang porno hehe). Penilaian temanku itu diungkapkannya sepuluhan tahun lalu. Aku tidak tahu, apakah sampai sekarang ia masih berpendapat begitu. Temanku yang sekarang mengajar komunikasi di sebuah PTN di Malang itu memang terkenal alim dan santun. Sebut saja namanya AR. Pria Minang, tapi besar di Surabaya ini bahkan pernah digelari ’penjaga moral’. Dia juga menjadi ikon ’intelektual muda’ di komunitasnya saat itu.
Tentang lagunya Frida itu, tadi sore aku dengar lagi di sebuah radio FM Jakarta. Jujur, aku masih suka banget dengan lagu itu. Suara Frida yang merdu dan penghayatannya yang mendalam menjadikannya enak didengar dan nyaman di kuping. Bedanya, kalau dulu lagu itu populer saat aku kasmaran, sekarang situasinya beda. Aku tidak sedang kasmaran, juga tidak sedang patah hati. Jadi, kalaupun mendengar lagu itu tidak lantas membuat khayalanku melambung. Tapi dulu, wuihhhh....benar-benar membuat perasaan tidak karuan. Makan tidak enak, tidur tidak nyenyak, dudukpun gelisah. Begitulah, sebuah lagu menyindir orang yang sedang kasmaran. Tapi seingatku, di SD ada kisah tentang Wati yang sedang sakit gigi. Narasinya persis begitu, makan tidak enak, tidur tidak nyenyak, dudukpun gelisah. (Sakit gigi memang benar-benar menyiksa, dengar musik keras-keras saja bisa bikin kita uring-uringan hehe...”lebih baik sakit hati, daripada sakit gigi ini...”, kata Hamdan ATT).
Balik ke lagunya Frida, porno tidaknya lagu itu akhirnya berpulang ke imaginasi seseorang. Ini tak ada hubungannya dengan kepribadian, moral, juga agama. Porno, dalam keyakinanku mampu menembus sekat-sekat semua itu. (ceileee...kayak globalisasi aja). Porno bukan monopoli seseorang, etnis, kelompok, atau pemeluk agama tertentu. Porno, sudah pasti ada dalam pikiran setiap orang. Tentu dengan tingkat dan kadar kepornoan yang berbeda-beda. Jangan kamu kira tidak ada ustadz, pendeta, atau biksu yang tidak porno. Apalagi kita-kita ini (kita?...elo kali hehe, sanggah teman-teman kalau aku ngeles mereka). Jangan heran, kalau RUU APP jadi pro dan kontra karena tidak ada batas yang jelas tentang porno itu sendiri. Porno kadang dicampuradukkan dengan pornografi. Ah, biarlah para ahli bahasa yang mendefinisikan secara benar, apa itu porno dan pornografi.
Kalau boleh aku sederhanakan---sekali lagi, aku sederhanakan---akar pro dan kontra tentang porno dan pornografi itu karena kamus umum bahasa Indonesia (KUBI) tidak mencantumkan kedua kata itu. Wajar, jika pendukung dan penolak RUU APP bersikukuh dengan argumen masing-masing, yang sudah pasti kental unsur subyektifnya. Setelah aku bolak-balik, KUBI karya W.J.S. Poerwadarminta yang kesohor itu ternyata memang tidak mencantumkan kata porno maupun pornografi. Yang ada kata saru, kosa kata Jawa yang berarti ”perkataan dan perbuatan tidak senonoh”. Tidak senonoh, mungkin berkerabat erat dengan pencabulan dan kata sejenisnya. Nah, mungkin ceritanya akan lain andai saja Pansus DPR yang merumuskan RUU APP itu menggantinya dengan RUU AntiSaru. Pilihan kedua ini jelas ada rujukannya, KUBI yang banyak dijadikan acuan para ahli bahasa.
Masalahnya, undang-undang tidak dibuat hanya untuk orang Jawa. Tetapi berlaku untuk setiap warga negara Indonesia. Jadi kalau porno diganti saru, bisa jadi orang Riau (Melayu) akan protes. Pun demikian dengan orang Bali, Bugis, Dayak, Sunda, Madura, dan ratusan suku lainnya di republik ini. Masalah kedua akan muncul, karena saru dalam terminologi Jawa tidak selalu berkonotasi dengan seks atau sejenisnya. Saat kamu makan sambil berjalan, atau makan di depan pintu, orang Jawa bilang, “ora ilok”. (orang Sunda bilangnya, pamali). Memang saru dan ora ilok tidak sama persis artinya, tapi keduanya berjalin berkelindan. Hmmmm....maksud hati ingin menyederhanakan, ternyata makin ruwet dan tidak jelas. Biarlah, toh dalam ketidakjelasan itu ada kejelasannya. ”jelas, tidak jelasnya”, gurau orang-orang.
Terlepas dari pro dan kontra itu, menurutku lagunya Frida tetap tidak porno (menurut Elo-Elo?). Lagu itu tetap memiliki arti tersendiri buatku. (pelan sih tapi kan daleeem....bunyi iklan kecantikan hehe). Mengingatkanku pada seseorang di kota S, yang sekarang sudah dikaruniai buah hati. Frida Luciana, seperti juga mba Iga Mawarni, lagu-lagunya sangat aku sukai. Ibarat aktor film, karakternya kuat. Hanya kebetulan, suara merdu keduanya aku dengarkan sore tadi.
Saat kudengar lagu itu, aku tidak sedang membayangkan sesuatu yang porno. Hanya nglaras ati, kata Wong Solo. Namanya juga nglaras ati, terhanyut tidaknya kita tergantung suasana kebatinan kita. Kalau suasana kebatinan kita tidak porno, aura yang terpancar tentu bukan porno, juga bukan kemesuman. Tetapi aura penikmat puncak karya seni (opo iki maksude? Mbuh aku yo ora mudheng). Sedih, tapi wajah berbinar. Mungkin ngga ya? Mungkin saja. Apa sih yang tidak mungkin di dunia ini. Tentu kalau Tuhan mengijinkan.
13 September, 2006
No comments:
Post a Comment