Friday, April 6

Kehilangan Makna Hidup

Kamu pernah kehilangan makna hidup? Pertanyaan itu begitu tiba-tiba keluar dari bibir seorang teman. Aku terdiam sepersekian detik. Aku benar-benar tak siap saat itu. Obrolan yang tadinya berkisar soal hobby dan kesibukan, tiba-tiba meloncat ke sesuatu yang sangat dalam : makna hidup. Tetapi insting politikku telah menyelamatkanku untuk tidak terseret dengan pertanyaan-pertanyaan berikutnya.

“Makna hidup seperti apa ya”, balasku berdiplomasi ke teman itu. Sebelum dia menjawab, aku keburu melanjutkan. “Kalau kehilangan makna hidup, belum pernah, tapi kehilangan orientasi, aku pernah mengalaminya”. Lalu, kata-kataku meluncur dengan lancar ‘berceramah’ soal politik, agama, dan budaya di depannya. Rasanya seperti kembali saat-saat dulu ‘menceramahi’ banyak orang waktu masih muda dan semangatku yang terus menggelora. Berdiri gagah---kadang malu-malu dan nervous juga sih—lalu berorasi dengan setengah lantang –suaraku memang tidak menggelegar. Lalu turun dengan tepukan membahana.Hmm..indahnya mengenang saat-saat itu. (Tapi aku ga yakin masih bisa melakukannya sekarang..)

Tanpa kusadari, pertanyaan “kehilangan makna hidup” itu terus timbul tenggelam di benakku. Saat aku bengong, kadang muncul lagi pertanyaan itu. Benarkah aku pernah kehilangan makna hidup? Lalu apa sebenarnya makna hidup itu?

Sekali, dua kali, pertanyaan itu tetap menjadi tanda tanya besar buatku. Pada akhirnya, jujur ingin kukatakan. Mungkin tiga tahun lalu aku benar-benar kehilangan makna hidup, bukan sekedar kehilangan orientasi. Saat itu aku merasa sebagai laki-laki dan orang yang sangat tidak berharga. Ah, cinta memang sering membuat orang lupa daratan---karena yang diingat cuma lautan hehe..lautan asmara.

Aku berhenti sholat, satu mingguan. Ngrokok makin kenceng. Banyak pekerjaan kacau balau, uring-uringan terus. Badanku kurus tak terurus, rambut gondrong. Wajahku pucat, tak ubahnya seperti mayat (ini lontaran salah seorang teman). “Kok, pandanganmu kosong gitu”, kata teman yang lainnya.

Malam-malamku juga penuh dengan mimpi buruk. Mimpi tentang kubur dan kematian. Entah berapa kali aku mimpi seperti itu. Yang jelas terlalu sering.

Tak pernah ada yang mempertanyakan mengapa aku gondrong saat itu. Kecuali beberapa teman malah mencoba meledek sayang, ”rambutmu keren, mirip rivaldo---rambutnya aja lho!”. Apapun itu, penampilanku yang lain dari biasanya itu tidak mengundang rasa curiga dan keingintahuan teman-temanku. Hmm..mungkinkah aku termasuk bisa memegang suatu rahasia, dan bisa dipercaya kalau diberi amanah? Belum tentu juga.

Gondrongku, memang sengaja. Aku tidak mengurus diri. Mungkin itu bagian dari ekspresi ketidakpedulian dan masa bodohku. Ah, peduli amat orang mau komentar apa. Yang penting aku tidak merampas hak orang lain. Hanya saja, gondrong ternyata tidak selamanya enak. Rambutku yang lebat dan besar-besar memaksaku untuk ’mencoba’ Panti Paras---istilah keren untuk salon bagi Persatuan Tukang Cukur Madura. Walau sebulan cuma dua kali creambath, tapi itu mengharuskanku menjadual tetap. Tapi jujur, kebiasaanku itu tak ada hubungannya dengan gaya hidup pria-pria Jakarta saat ini, pria Metrosexual. Hanya karena keterpaksaan. Maklum, gatal kan, kalau gondrong jarang keramas dan dibersihkan?

Masih soal rambut, aku bahkan pengeeeeen banget saat itu untuk dirasta. Benar-benar kelihatan keren dan laki-laki banget kalau liat orang dengan rambut begitu. Sampai sekarang pun ’ngidam’ dirasta itu masih ada. Sayang, rambut keburu dipotong. Satu-satunya persoalan kalau aku berambut rasta adalah; tidak berani pulang ke rumah. Pasti orang serumah bakal menceramahiku semua. Bisa-bisa aku disumpah-serapahi, hanya karena mendesakralisasi dan mendeligitimasi ’citra’ keluarga. Untungnya aku tidak kebablasan.

Kembali ke makna hidup. Tempo hari seorang tua arif, berujar : ”apa sejatining manungso, dan apa manungso sejati iku”. Katanya lagi, kalau seseorang sudah mengerti hakekat sesungguhnya tentang dua hal itu, hidupnya bakal lebih lempeng. Tidak ngoyo, tapi bisa mensyukuri nikmat. Sayang, obrolan sepintas sambil coffeebreak itu tidak berlanjut pada hal yang lebih serius. Andai saja sempat berdialog, aku akan bertanya: apa bedanya kerja keras, ullet dan ngoyo? Kalau soal syukur nikmat, aku menerima bulat-bulat tanpa reserve. Tapi kalau soal ngoyo, nanti dulu. Aku berprinsip, selagi masih punya kekuatan, maka potensi yang aku punya harus disalurkan.

01 Agustus, 2006

No comments: