Seorang bos Gangster, suatu ketika memerintahkan anaknya untuk terjun dari lantai 3 sebuah apartemen. Tentu saja anaknya yang berusia 3 tahun itu takut setengah mati. Namun Sang Ayah terus meyakinkan si anak bahwa dia akan selamat. Ayahnya sudah mempersiapkan matras di bawah. Sambil terus membujuk, ayahnya berkata,"Terjunlah Nak, tidak apa-apa. Ayah akan membantumu agar tidak cidera".
Gangster, mafia-mafia, pebisnis, juga politisi memang diajari untuk tidak mudah percaya kepada orang lain. Orang dekat, teman, bahkan ayah dan anak sekalipun seperti ilustrasi di atas, tidak boleh dipercaya begitu saja. Dipihak lain, orang-orang seperti itu selalu berusaha keras meyakinkan orang lain agar percaya kepadanya. Dengan cara apapun, usaha untuk meyakinkan orang lain dilakukannya, agar dia beroleh kepercayaan.
Tidak mudah memang membangun sebuah kepercayaan. Kepercayaan tak bisa disandarkan pada niat baik semata. Butuh waktu dan pengorbanan hingga orang lain benar-benar pecaya atas niat baik kita. Tidak jarang niat baik kita disalahartikan. Niat baik kadang ditanggapi dengan rasa curiga. Orang-orang diselimuti ketakutan kalau-kalau niat baik kita kemudian bakal merampas haknya. Tetapi jangan lantas ketidakpercayaan itu diletakkan dalam matra ketiadaan akan niat baik. Ketidakpercayaan boleh jadi menjadi bibit dari niat baik itu sendiri. Bingung kan?
Di dunia bisnis, kepercayaan adalah prinsip nomor satu sebelum melangkah ke kerjasama bisnis selanjutnya. Para pebisnis mengenal yang namanya etika bisnis. Salah satunya adalah tentang kepercayaan itu. Sekali saja pebisnis melanggar etika ini, maka selamanya dia tidak akan pernah dipercaya. "Sekali lancung di ujian, seumur hidup tak akan pernah dipercaya", kata orang tua mentamsilkan masalah kepercayaan ini.
Masalahnya adalah, berapa banyak pebisnis yang memegang etika itu. Bisa saja para pebisnis---dari kelas teri hingga konglomerat---bisa saling percaya dengan rekanan bisnisnya, namun apakah hal yang sama berlaku untuk relasi bisnis dan konsumen? Bukankah konsumen---apalagi di Indonesia---selalu menjadi korban pelanggaran etika bisnis, baik oleh korporat maupun perseorangan yang bergerak di ranah itu.
Pelanggaran etika bisnis, yang lebih tepat disebut perbuatan kriminal itu terjadi di mana-mana. Mungkin kita terlalu sering mendengar, bagaimana para pemasok barang dagangan dikibuli para makelar Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta. Ada pemasok kelapa dari Pangandaran-Jawa Barat, mengaku dua kali ditipu orang Pasar Kramat Jati. Dua truk kelapanya 'diembat' tanpa pernah dibayar. Kapoklah dia. Ada juga pemasok Jeruk Bali dari Madiun yang mengalami nasib tragis serupa. Bisa dipastikan pula kalau pemasok duren dan duku Palembang menjadi korban orang-orang yang tak punya etika bisnis itu.
Di panggung politik, tipu menipu juga dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Para politisi Senayan, sudah pasti menggunakan rumus jual beli. Persis seperti tukang bisnis. "Ente jual, ane beli". Namanya saja pembeli, tentu yang diinginkan adalah harga yang semurah-murahnya. Di sini berlaku prinsip ekonomi. Politisi kelompok ini tak pernah melihat suara orang kebanyakan, bahkan suara konstituennya sekalipun sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan. Baginya, kepentingan perut dan kelompoknya lah (partai) yang harus dinomorsatukan. Kalau tidak, bisa saja dia akan kehilangan jabatan.
Orang-orang di sekeliling kita, kadang tanpa kita sadari juga memanfaatkan kepercayaan yang kita berikan. Sebaliknya, mungkin kita juga tidak sadar telah memanfaatkan kepercayaan orang itu untuk untuk kepentingan-kepentingan kita, tanpa peduli orang lain kita rugikan.
Tapi jangan pernah menangis, kalau ada orang lain tak percaya sama kita. Ketidakpercayaan itu, sekali lagi mungkin benih dari kepercayaan yang tumbuh kemudian. Tak satupun kita, yang selalu dipercaya oleh semua orang. Selalu saja ada, entah satu atau dua orang yang tidak pernah percaya dengan niat baik kita. Jangankan kita, Muhammad sekalipun banyak yang tidak memercayainya.
19 September 2006
No comments:
Post a Comment