Friday, April 6

Ke Pulau "Laskar Pelangi"

Tiba-tiba aku berhasrat mendatangi Belitong. Belitong, Belitung, apapun ejaan yang tepat yang jelas membuatku penasaran untuk menjejakkan kaki di sana. Ini bermula dari novel hadiah ultah kemarin dari member of Trio kwek-kwek. Sebut saja Atak, gadis "blasteran" ini benar-benar membuat setiap pertemuan jadi cheerfullll. Semua dibuatnya terpingkal-pingkal. Sakit perut aku dibuatnya setiap ketemu sama dia.

Laskar Pelangi, begitu judul novelnya. Meski aku punya beberapa kritik terhadap novel karya pegawai Telkom ini--Andre Hirata--secara keseluruhan aku terpuaskan membacanya. Laskar Pelangi menceritakan perjuangan 10 anak-anak yang kurang beruntung dalam mengejar mimpinya. Mereka, bertungkus lumus, meski dengan fasilitas pendidikan yang serba terbatas, tak menyurutkan semangat belajarnya untuk meraih cita-cita. Tak perlu kuceritakanlah, bagaimana kisah lengkap Laskar Pelangi itu, nanti kalian tidak penasaran lagi...

Belitung, Belitong, dari dulu biasanya disebut selalu bersanding dengan Bangka. Bangka dan Belitung, adalah penghasil timah terbesar di Indonesia. itu pengetahuan pertamaku saat belajar geografi di kelas empat SD dulu. Bu Chusnuraini--Bu Nur--memaksa anak-anaknya untuk menghafal semua keunggulan daerah di Indonesia, tak terkecuali Bangka-Belitung.

Referensiku tentang Bangka-Belitong makin bertambah, setelah aku memasuki dunia kerja. Apalagi kalau bukan urusan tambang timah itu. Dari Kompas, aku juga sempat mengikuti beberapa tulisan investigasi tentang tambang timah di Belitong. Soal PT Timah Tbk yang terancam gulung tikar, atau penambangan timah illegal di sana yang mengancam masa depan warga Belitong.

Belitong dianugerahi kekayaan alam melimpah berupa bijih timah. Namun toh kekayaan itu tidak membuat semua rakyat Belitong makmur sejahtera. Laskar Pelangi dengan apik mengilustrasikan kesenjangan di sana. Di satu sisi, PT Timah Tbk., dan gemerlap fasilitasnya bersanding dengan kehidupan warga Belitung yang tak beranjak naik. Puluhan tahun timah dikeruk dari pulau itu, namun masih ada SD Muhammadiyah dengan atap bocor, tiang penyangga yang doyong, dan tentu saja kesejahteraan gurunya yang jauh dari pantas. Mereka mau menularkan ilmunya semata-mata karena keikhlasan.

Sampai hari ini belum kutemukan rumus yang tepat, mengapa kehadiran industri tambang tidak pernah bergaris lurus dengan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Di atas kertas, keuntungan usaha tambang, di manapun seharusnya bisa memakmurkan, minimal memperbaiki tingkat kehidupan warga sekitarnya. Nyatanya, kesejahteraan itu selalu dan selalu hanya dinikmati segelintir orang; mereka yang bekerja di perusahaan itu dan pejabat-pejabat pemerintah yang seringkali dapat cipratan kue dari perusahaan.

Belum lagi soal kerusakan lingkungan. Tak terbantahkan, pencemaran selalu terjadi oleh beroperasinya perusahaan tambang. Tak perlu berdebat soal ini. Meski dari waktu-ke waktu, belum satupun pihak yang bisa menyeret perusahaan tambang ke "kursi pesakitan" karena pencemaran yang dilakukan. Semua kasus pencemaran lingkungan, selalu mentok oleh argumentasi AMDAL. Padahal semua orang juga tahu, bagaimana proses AMDAL dibuat, siapa orang yang duduk di dalamnya, termasuk siapa yang membiayai AMDAL itu. Jika perusahaan yang mensupport biaya AMDAL, bagaimana mungkin hasilnya obyektif. Tak pelak lagi, belum pernah ada perusahaan tambang yang gagal beroleh ijin karena AMDAL-nya tidak lolos.

Kembali ke Pulau Belitong. Keinginan dan tekadku sudah bulat. Suatu waktu, aku akan menyegajakan diri untuk mendatangi pulau itu. Selain soal timah yang menjadi "suar" publikasi nasional, keberadaan komunitas Tionghoa di sana juga membuatku makin penasaran. Konon khabarnya, komunitas Tionghoa di sana tak ubahnya dengan kaum pribumi lainnya. Andre di Laskar Pelangi memperkenalkan istilah Tionghoa Kebun, sebuah sebutan untuk warga Tionghoa kelas dua yang hidupnya serba kekurangan. Mereka bertani, berkebun, sebagaimana kehidupan kebanyakan masyarakat Belitong. Mungkin kondisinya tidak jauh berbeda dengan Kalimantan Barat, dimana komunitas Tionghoa cukup banyak di sana. Yang unik tentu saja, mereka benar-benar membaur satu sama lain. Tak ada istilah diskriminasi ras, atau kecemburuan sosial yang selama ini dikipas-kipasi seperti di kota-kota lain di Indonesia. Kalau tidak salah, orang nomor satu di salah satu kabupaten di wilayah ini juga dipegang oleh orang Tionghoa. Apakah dengan begitu Belitong menjadi tanah impian buat kaum Tionghoa? Entahlah. Aku tetap ingin ke sana...Tuhan, kabulkan niatku ini.

17 Maret 2007

No comments: