Kalau diranking, Top news media-media di Banda Aceh adalah ‘khalwat’. Nyaris setiap hari, ada saja liputan tentang khalwat ini. Ada anggota dewan ketangkap basah ngencani janda, ada pak keuchik jadi korban tuduhan khalwat, ada dua sejoli ketangkep karena pacaran kemalaman, dan seabrek kasus lainnya. Dari semua itu, pelaku khalwat didominasi mahasiswa-mahasiswi. Tidak aneh, namanya juga mahasiswa, gairah asmaranya memang lagi tinggi-tingginya.
Tidak lama setelah menjejakkan kaki di sini, seorang teman mengingatkan, “cepat cari istri, jangan sampai digerebek WH gara-gara khalwat”. Buatku itu lelucon, sekaligus ungkapan peduli temanku itu. Tadinya aku tidak terlalu berpikir jauh, seperti apa fenomena khalwat ini di Banda Aceh. Rupanya, dari hari ke hari, masalah ini memang banyak mendapat sorotan media.
Khalwat, terjemahan bebasnya : mesra-mesraan berdua. (pasti ingat kan nasehat tua ini, jangan berduaan di tempat sepi, nanti hadir orang ketiga, Kamu !..oups..maksudnya setan :-). Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru, bukan hanya di Aceh, tapi juga di tempat lain. Fenomena ini menjadi menarik di Aceh karena tidak lepas dari keberadaan WH, wilayatul hisap atau polisi syariah. Satu-satunya aparat penegak hukum yang cuma bisa ditemui di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). WH inilah yang hari ini menjadi ujung tombak penegakan syariat Islam di Aceh. Yang menarik, dari banyak kasus yang ditangani, khalwat tampaknya menjadi fenomena sosial yang paling banyak mendapat perhatian WH. Belum jelas alasannya, yang pasti menangani kasus khalwat mungkin paling mudah, dan tidak berisiko. Terlebih lagi, masyarakat Aceh tampaknya cukup antusias untuk ‘menjebak’ warganya yang melakukan khalwat. Istilah ‘menjebak’ sebenarnya berangkat dari kenyataan bahwa hampir semua kasus penangkapan pelaku khalwat, sebelumnya masyarakat sudah memata-matai. Saat momentum yang ditunggu tiba, biasanya masyarakat menggerebek oknum pelaku khalwat yang bersangkutan, tentu setelah berkoordinasi dengan WH. Modusnya di setiap kasus hampir seragam, meski ada beberapa perkecualian, misalnya kasus muda-mudi pacaran yang kemaleman di atas.
Sebagian orang menyayangkan kasus-kasus penangkapan khalwat itu. Di suatu kesempatan, seorang khatib Jum’at menyatakan keprihatinannya. Sang khatib menggugat, mengapa masyarakat termasuk WH, baru melakukan tindakan setelah pelaku khalwat berbuat terlalu jauh. “Mengapa tidak jauh hari sebelumnya mereka diingatkan”, gugat pak Khatib Jum’at.
*****
Sejauh ini, aku belum benar-benar bisa memahami, mengapa masih saja terjadi khalwat, meski berkali-kali ada penangkapan, yang beberapa kasus diantaranya pelaku dikenai hukuman cambuk di depan umum. Apakah ini suatu bentuk ’perlawanan’ masyarakat Aceh atas pemberlakuan syariat Islam? Entahlah, yang pasti sampai hari ini peristiwa-demi peristiwa khalwat terus terjadi.
Aku melihat persoalan itu secara sederhana saja. Hubungan asmara antara dua insan berbeda kelamin, adalah hal yang lumrah. Tak ada aturan atau perangkat hukum yang bisa menghilangkan sama sekali kecenderungan itu, di manapun di muka bumi ini. Jangankan di ruang terbuka, di pondok pesantren sekalipun sering ditemui santri yang menjalin hubungan gelap dengan santri lain. Singkatnya, asmara tak bisa dikekang. Oleh aturan pondok, ataupun syariat Islam seperti di NAD ini.
Setuju atau tidak setuju, yang jelas NAD adalah daerah istimewa. Satu-satunya provinsi yang menerapkan syariat Islam. Tidak setuju boleh-boleh saja, tetapi bukan lantas melakukan pelanggaran syariat. Kecuali memang menyegajakan diri, dan siap dengan segala sanksinya.
Jika penerapan syariat Islam ditempatkan sebagai bagian dari proses demokratisasi di NAD, maka siapapun yang bermukim di sini harus menjunjung tinggi ketentuan-ketentuan syariah itu. Karenanya, patut dipertanyakan jika ada sebagian warga Aceh yang melakukan ’teror’ terhadap WH yang sedang menjalankan tugasnya. Seperti diketahui, tempo hari serombongan orang tak dikenal, menyeruduk mobil yang dikendarai WH. Pemicunya, salah seorang teman gerombolan itu baru saja ditangkap WH karena berbuat khalwat.
Tak bisa dibenarkan juga, jika hari ini masih banyak perempuan-perempuan Aceh yang hilir mudik di tempat umum, tanpa mengenakan busana ”Islami”, menutup kepala dan berkain panjang. Kecuali mereka beragama non-muslim. Sah-sah saja berlaku begitu. Tetapi, ketika seorang perempuan diingatkan di tempat ramai karena tidak mengenakan tutup kepala, lalu si perempuan itu bilang : ”Memang kalau tidak pakai kerudung kenapa? Bukan urusanmu!”. Ini sudah keterlaluan. Bukan saja menampar kewibawaan aparat hukum—WH—tetapi juga melecehkan ketentuan syariat Islam yang sudah menjadi keputusan politik bersama komponen masyarakat di Aceh ini. Syariah Islam di NAD, lahir dari sebuah kontrak politik dan kontrak sosial, dan mengikat seluruh komponen masyarakat di wilayah itu. Sudah selayaknya semua menghormati keputusan itu, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju. Bukankah tidak ada demokrasi yang benar-benar bulat? Demokrasi dimanapun pasti lonjong, artinya tetap ada sebagian komponen masyarakat, bangsa yang tidak setuju dengan kesepakatan mayoritas.
Aku, termasuk yang tidak setuju dengan penerapan syariah Islam, termasuk pendirian negara Islam. Islam yang aku pahami tidak seperti itu. Menjadi relewan, pernyataan khatib Jum’at minggu kemarin (16/03). Sang khatib menyitir pernyataan pembaharu Islam dari Mesir, Muhammad Abduh, katanya :” Aku melihat Islam di negeri yang tidak muslim (Perancis), tapi aku tidak melihat Islam di negeri yang muslim (Mesir). Setuju Pak Khatib ! Islam, seharusnya tercermin dari nilai-nilai dan perilaku yang ditunjukkan oleh masyarakatnya. Bukan oleh jenggot, baju, atau simbol-simbol lainnya yang dinarasikan dalam hukum positif.
Otokritik Pak Khatib Jum’at ini cukup beralasan. Pasalnya, ketika tindakan terhadap pelaku khalwat ‘terlambat’, artinya sampai menunggu pelaku berbuat zina, terkesan seperti melakukan jebakan. Seolah ada kebanggan ketika masyarakat berhasil menangkap basah pelaku yang sedang bermesra-mesraan. Hmmm…inikah mental Melayu, yang baru bertindak setelah kejadian berlaku. Tak pernah berpikir bagaimana antisipasi atau pencegahan dilakukan sebelum kejadian terburuknya benar-benar terjadi. Beda-beda tipis dengan pelaku penanganan bencana di Indonesia. Bencana baru diributkan setelah terjadi peristiwanya. Tapi bagaimana melakukan mitigasi dan kesiapsiagaan, bukan menjadi sesuatu yang dikedepankan.
19 Maret 2007
No comments:
Post a Comment