Malam ini, mulai sedikit terkuak misteri tentang nenek tua dan Molly-nya yang kuceritakan tempo hari. Sepulang dari istiqlal, kujumpai lagi nenek itu, di tempat biasanya: persimpangan pintu masuk pasar baru. Saat aku lewat sana, nenek renta itu seperti menghitung laba hari ini. “Bisa jadi nenek ini kesehariannya jadi peminta-minta”, gumamku. Aku aku tak yakin benar, apakah memang dia berburu rizki sebagai peminta-minta, atau dari sumber lainnya.
Dari jarak 10 meter-an, sekilas kulihat nenek itu memegang beberapa lembar lima ribuan. Sambil duduk setengah selonjor, uang di genggaman tangannya dibolak-balik. Matanya sempat beradu denganku. Tapi aku tidak terlalu memerhatikan.
Aku memang agak tergesa-gesa saat itu. Maklum, begitu tarwih selesai, hujan rintik-rintik mengiringi perjalananku pulang ke kos. Aku tak mau ambil risiko dengan laptop di punggungku. Tak boleh basah. Makanya aku harus cepat-cepat sampai kos-kos-an. Beruntunglah, perjalanan dari Istiqlal yang memakan waktu 10 menitan itu aman-aman saja. Tidak ada hujan lebat yang mengguyur Jakarta. Jadi, selamatlah ‘pusaka’ku dari guyuran air hujan.
***
Malam ini, kepalaku serasa mau meledak. Begitu banyak ide, pengalaman dan ‘susu asma’[1] lainnya yang mau kutumpahkan ke laptop sepulang dari tarawih. Pertama, aku merasa perlu untuk menuliskan pengalamanku selama ramadhan di Istiqlal, dari berangkat hingga pulang, dari suasana masjid istiqlal hingga materi ceramahnya. Kedua, aku ingin mencatat secara khusus tentang sejarah istiqlal dan apa yang aku lihat hari ini. Hal ini didasari oleh sedikitnya informasi yang kudapat selama ini tentang keberadaan masjid istiqlal; siapa arsiteknya, inisiatif pembangunan dari siapa, kapan tahun berdiri, mengapa lokasinya sebelah-menyebelah dengan istana, bagaimana geliat jamaahnya dan sebagainya. Ketiga, aku tetap belum kesampaian untuk membuat memoir pribadiku, dari kecil sampai saat ini. Semacam biografiku, tapi terlalu ‘gagah’ untuk menyebut biografi. Aku sadar betul, siapa diriku ini. Jadi cukup memoar saja.
Aku akan memulainya dari materi ceramah malam ini. Hmm…tak banyak yang kuingat, kecuali ‘Slilit Sang Kyai’, sebuah cerita kutipan sang Ustadz yang diambil dari bukunya EMHA Ainun Nadjib dengan judul yang sama. Sayang, aku lupa bagaimana mulanya ustadz ini bawa-bawa kutipan ceritanya dedengkot Kyai Kanjeng itu. Yang jelas begini ceritanya : “………seorang kyai telah meninggal. Tiga hari sepeninggal kyai, salah seorang santrinya bermimpi ketemu kyainya. Dalam mimpi itu sang kyai mengeluh tentang sakit gigi luar biasa yang dia alami di alam kubur. Dia tidak habis mengerti, dosa apa yang masih membebaninya, sehingga di kubur pun masih harus dibebani dengan sakit gigi. Usut-punya usut, sang kyai baru ingat kalau tiga hari sebelum kepergiannya, dia dapat undangan kenduri di tetangga kampong. Seperti biasa, hidangan kampong biasanya tak lepas dari daging. Nah rupanya selesai makan, ada daging yang terselip di giginya. Karena setelah dilihat kanan kirinya tak ada tusuk gigi, lalu sang kyai kreatif mengambil ‘barang’[2] milik tuan rumah tanpa izin untuk membersihkan sisa makanan yang terselip/slilit di giginya. Rupanya baru disadari, barang inilah yang membuatnya sakit gigi tak ketulungan di alam kubur”.
Begitulah, sang Kyai menceritakan apa yang dialaminya di dunia lain kepada salah satu santrinya dalam mimpi. Apa hikmah yang bisa dipetik dari cerita ini, Tanya ustadz penceramah? Bahwa kita harus berhati-hati terhadap segala hal yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk berhati-hati dalam hal makanan, apakah yang kita makan dijamin kehalalannya, halal zat dan cara memperolehnya. “Bayangkan, slilit sekecil itu saja bisa membuat sakit gigi, apalagi kalau slilit itu sebesar kayu-kayu gelondongan yang ditebang para pembalak liar di Kalimantan ?” Sulit dibayangkan. Di akherat nanti, katanya, banyak orang tak bisa masuk syurga, karena pahalanya habis untuk menebus dosa, baik yang dia lakukan maupun limphan dari orang-orang teraniaya yang kita zalimi. Nah lho..!
Buatku, cerita di atas memberi pelajaran berharga tentang makna kesalehan sosial. Bahwa ketika mengambil, apalagi merampas hak orang lain, maka kita belum teruji kesalehannya. Bayangkan, hanya karena mengambil ‘pembersih’ slilit yang tidak lain adalah hak orang lain sementara kita tidak mendapat izin darinya, bisa berakibat seperti yang dialami kyai. Perbuatan mengambil hak orang lain yang kita lakukan berarti merugikan orang lain. Dan orang itu menjadi teraniaya karenanya, meski Cuma kehilangan sepotong pembersih slilit.
***
Aku memperoleh kedamaian di malam tarawih keduapuluh dua ini. Aku sedih,….aku menangis,….aku merasa hina dina,……aku menangis,….aku cengeng,…..aku belum bisa pasrah dan menghamba kepada Khalik?
Betapa hinanya aku. Air mataku menetes, saat Imam membaca doa, saat imam membacakan qunut. Mengapa Tuhan? Disatu sisi aku merasa beroleh kedamaian, aku masih merasa punya iman, karena bisa menangis saat nama-Mu dan firman-firman-Mu dilantunkan. Namun di sisi lain, aku merasa seperti bersandiwara di hadapan Tuhan. Tuhan, benarkah aku sedang mengenakan topeng, berkamuflase, mencoba menipu-MU, agar Engkau senang melihat hambamu? Tapi apa makna kedamaianku, apa arti air mataku? Jujur kuakui, di hari-hari biasa sulit rasanya bisa menangis saat sholat, atau saat berdoa setelah sholat. Tapi di ramadhan ini, sudah beberapa kali aku mengalaminya.
Memang, aku harus bersyukur. Benar-benar karunia besar, aku merasakan kedamaian dalam tangis di sholatku. Mahal sekali harganya. Tepat sekali kalau Imam malam ini menghabiskan surat Ar-rahman. “Maka nikmat Tuhan yang mana yang kamu lupakan?”, berulang-ulang dilafadzkan dalam surat itu…fabiayyi alaai rabbikuma tukaddzibaan….”.
Kamis, 27 Oktober 2005 : 22.00 WIB
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Istilah anak-anak Jakarta untuk menggantikan kata ‘tetek bengek’. Susu asma, susu=tetek, asma=penyakit bengek, jadi susu asma=tetek bengek. Istilah ini kudapat dari wenny waktu pulang numpang mobilnya tempo hari.
[2] Aku benar-benar tak bisa mendengar, barang apa yang dimaksud penceramah malam itu, karena suaranya tak begitu jelas, menggema. Apalagi dudukku malam ini hampir tepat di depan mimbar utama.
No comments:
Post a Comment