Friday, April 6

Pelacur...itu..

Pelacur, perempuan malam, pekerja seks komersial, kupu-kupu malam, penjaja cinta, perempuan pemuas syahwat, wanita panggilan. Berapa banyak dari kita yang bisa menerima profesi itu? Pelacur, atau apapun istilahnya, selalu berkonotasi buruk. Amoral, hina, terkutuk, sampah masyarakat, sehingga harus ‘dicampakkan’. Sejak jaman Mbah Adam, pelacur tak pernah mendapat tempat di masyarakat.

Profesi pelacur, sama tuanya dengan usia peradaban manusia. Hampir di setiap sudut bumi ini, profesi itu hampir pasti bisa kita temui. Di Surabaya ada gang Dolly, di Jogja ada Sarkem (Pasar Kembang), di Solo ada di semua penjuru mata angin, di Purwokerto ada gang Sadar, di Bandung ada Saritem, di Jakarta—dulu—ada Kramat Tunggak. Di Hollywood, New York, London, Canberra, bahkan di Mekkah juga Madinah, siapa yang bisa jamin tak ada pelacurnya? Yang membedakan barangkali cuma modus dan imbalan yang diminta para pelacur itu. Tarif,...ya, nominal tariflah yang kemudian membuat pelacur juga memiliki kasta.

Pelacur, hanya layak disandang oleh perempuan-perempuan yang menjajakan diri di pinggir jalan. Atau mereka para perempuan yang menghuni kompleks lokalisasi. Sebutan pelacur tidak dilabelkan kepada perempuan-perempuan yang cuma melayani panggilan pejabat, atau orang-orang yang hidupnya ‘bermandi’ uang. Pelacur kasta ini lebih suka memilih istilah ‘wanita panggilan’. Kelompok ini memang tak pernah mendatangi atau merajuk-rayu para lelaki hidung belang, tetapi hanya menunggu order-an.

Dulu pelacur selalu dikonotasikan dengan perempuan yang menjual diri. Menjual kemolekan tubuhnya untuk memuaskan syahwat pria-pria hidung belang. Tapi sekarang, pelacur telah mengalami perluasan makna. Kata pelacur tidak lagi berdiri sendiri. Belakangan, kata pelacur diikuti embel-embel; politik, idealisme, intelektual, atau agama. Jadilah pelacur politik, pelacur idealisme, pelacur intelektual, serta pelacur agama. Bukan semata-mata kemolekan dan kemontokan tubuh perempuan yang bisa dilacurkan, tetapi sesuatu yang nonfisik ternyata belakangan jadi komoditas tak kalah laku untuk dilacurkan.

Kalau banyak perempuan menjadi pelacur, tahukah sebabnya? Kata koran, ada yang karena patah hati. Ditinggal dan dikianati pacar, atau miliknya yang paling berharga sudah direnggut lelaki, tapi tak mau bertanggungjawab. Melacur lalu dianggap sebagai satu-satunya jalan yang bisa memuaskan dendam dan sakit hatinya terhadap lelaki. Ada juga yang melacurkan diri untuk memenuhi tuntutan gaya hidup. Penghasilan pas-pasan, sementara lingkungan dan orang-orang di sekitar menuntut dia untuk bergaya hidup ’wah’. Tapi, ada juga yang karena ’gatal’. Apapun alasannya, melacur tetap tidak bisa dibenarkan. Memangnya tidak ada cara lain untuk mengumpulkan uang, selain melacurkan diri? Inilah gugatan dan vonis yang selalu dijatuhkan oleh mereka para ’pemegang kunci syurga’.

Bolehlah para pelacur berkasta elit itu divonis seperti itu. Tapi, bagaimana dengan pelacur-pelacur yang terpaksa melakukannya untuk menghidupi anak-anaknya, atau membiayai sekolahnya? Pelacur-pelacur berkasta rendah---biasanya beroperasi di pinggir jalan---mungkin 100 persen melakukannya hanya supaya bisa bertahan hidup. Mereka punya anak, tapi mungkin tak punya Bapak. Atau kemiskinan keluarganya memaksa pelacur-pelacur itu jadi tumpuan buat adik-adiknya. Semua serba mungkin.

Dulu, aku termasuk satu dari kebanyakan orang yang mengutuk dan menyumpah-serapahi pelacur jenis terakhir. Pokoknya tidak bisa kuterima. Berdosa, titik. Kini, setiap berpapasan dengan mereka-mereka itu, aku tak tega lagi mengutuk. Apalagi menyumpahinya masuk neraka. Mungkin aku belum berhak mengasihinya. Aku toh belum tentu lebih baik dari mereka, lalu apa hakku untuk menyumpahi dan mengutuknya? Lagipula, kalaupun aku kasihan kepadanya, aku tak tahu bagaimana harus mengasihinya. ’Membelinya’? ya, hanya dengan ’membeli’ untuk membuktikan kita kasihan kepadanya. Tapi bagaimana mungkin itu bisa kulakukan. Aku cuma bisa kasihan.....

*****

Di tikungan itu, aku selalu berpapasan dengan perempuan-perempuan yang aku gambarkan. Mereka ini, para pelacur jalanan yang mungkin sudah tersingkir dari sengitnya persaingan dunia pelacuran. Belum ada satupun wajahnya yang aku hafal. Rasanya, setiap lewat di tikungan itu, selalu berganti orang.
Secara fisik, tak satupun yang cukup menarik buatku. Semuanya sudah 'dimakan umur'. Tidak ada yang muda lagi. Juga tak ada yang terlihat montok dan seksi. Kadang mereka berdua, kadang sendirian. Mungkin karena 'modalnya' yang pas-pasan itulah, membuatnya tersingkir oleh pendatang-pendatang baru yang lebih segar, montok, hot dan seksi..hehee..Sedangkan perempuan-perempuan di tikungan itu, sepertinya hanya berharap pada nasib. Siapa tahu ada lelaki hidung belang yang menghampirinya. Perempuan-perempuan ini, boleh jadi tak mau berepot-repot mempermak wajahnya. Bahkan, aku menduga lipstiknya yang selalu menor itu, menyebabkan gatal-gatal dan bibir dower, jika dioleskan ke bibirnya Ayu Azhari, Krisdayanti, Titi DJ, atau artis-artis lain sekelas atau mengaku sekelas dengan mereka.

Demikian pula bajunya. Kusam, tidak terawat. Warnanya juga terlalu soft, untuk bisa mendukung dan menjadi daya tarik profesinya. Tidak ada yang 'ngejreng'. Wajah-wajah kusam itu makin tenggelam oleh warna baju yang melekat di tubuhnya.

Saat berpapasan, kadang aku sempatkan untuk mencuri pandang. Sekedar ingin tahu, bagaimana mimik mukanya. Belum pernah aku ditegurnya. Tak ada sapaan-sapaan genit, khas perempuan jalanan. Saat seperti itu, kadang aku menangkap wajah-wajah penuh harap. Memelas, mohon belas kasih lelaki, agar asap dapurnya tetap mengepul esok hari.

Pelacur adalah pekerjaan mulia. Sebagian orang, dan tentu saja pelacur itu pasti meyakininya. Mereka mulia, karena menghidupi anak dan keluarganya. Mereka mulia, karena tak pernah merenggut hak orang lain. Pelacur, jauh lebih mulia dari koruptor. Statusnya mungkin anggota DPR, menteri, bupati, walikota...tapi dimana kemuliaan jabatan itu, sementara dia hidup di atas penderitaan rakyatnya. Korup dan culas, merenggut dan merampas sesuatu yang bukan haknya.

Pelacur, adalah calon penghuni syurga. Sebuah kisah lama memberi pelajaran itu. Seorang pelacur masuk syurga, lantaran kemuliaan hatinya memberi minum kepada anjing sekarat karena kehausan. Apakah kita merasa lebih baik dari pelacur????

No comments: