Friday, April 6

Yosodipuro 81

Mengapa kalau orang buang angin yang harus dibasuh mukanya? Kenapa bukan bokong, atau bagian tubuh sekitar itu? Dan mengapa pula, kita tidak boleh menghadap-Nya dengan kondisi telanjang bulat? Memangnya kalau kamu membalut tubuhmu dengan pakaian rangkap 100, Tuhan tidak mampu ’menelanjangi’ seluruh tubuhmu? Kalau Tuhan itu benar-benar Maha Besar, pasti Dia bisa membuat batu sedemikian besarnya, sehingga Dia tidak mampu lagi mengangkat batu yang diciptakan-Nya?

Pertanyaan-pertanyaan ’nakal’ itu kudapatkan saat-saat awal menginjakkan kaki di Yosodipuro 81. Lebih dari sepuluh tahun lalu. Aku, juga teman-teman seperjuangan dulu sempat ’shock’ dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Kami banyak yang ’protes’, tidak sepakat dengan pertanyaan-pertanyaan yang menurut kami ’liar’ dan keluar dari pakem yang kami pahami selama ini. Protes bercampur ’marah’ hampir mendominasi ’gerombolan’ angkatanku saat itu. Tapi apa boleh buat, kami tak cukup mampu berargumentasi. Meski akhirnya ’ritual’ cuci otak itu disampaikan rasionalisasi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, kami tetap tidak puas. Butuh waktu cukup lama, hingga akhirnya aku bisa memahami mengapa pertanyaan-pertanyaan itu dilontarkan.

Itulah sekelumit penggalan sejarah masa laluku. ’tabir gelap’ yang selama ini mengungkung kemerdekaan dan kebebasan nalarku, pelan-pelan tersingkap. Dari situ aku mulai dikenalkan dengan nilai-nilai keberpihakan, empati, solidaritas, loyalitas, hingga bagaimana harus menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Meski begitu, aku merasa masih belum purna memahami dan menginternalisir sesuatu yang menurut ’sesepuh’ ku dulu harus terus disemai di setiap ladang penghidupanku. Hmmm....kadang aku tersenyum geli, seolah-olah semua orang harus menjadi ’nabi-nabi’ kecil. Ahh...heroik benar. Seolah-olah aku bisa menyelesaikan semua persoalan. Memang aku ini siapa?

Yosodipuro 81, bagaimanapun telah mengilhamiku banyak hal. Meski begitu, aku sadar betul, idealisme gampang diucapkan. Tapi tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk mewujudkannya. ”Makan tuh, idealisme!”, ledek orang-orang yang masa bodoh dengan idealisme. Memang, idealisme kadang menjadikan kita seperti orang asing. Kita sering gagal membumikan idealisme hanya karena tak mampu memahami realitas. Dus, idealisme dan realitas ibaratnya dua sisi mata uang logam. Idealisme muncul karena realitas, begitupun sebaliknya. Keduanya bukan untuk dibenturkan, tetapi bagaimana pintar-pintarnya kita mengkompromikan.

*****
Pak Man. Tak satupun orang-orang yang menginjakkan kaki di Yosodipuro 81 tidak mengenal orang ini. Lelaki berumur asal Klaten yang sudah almarhum ini—Allahu yarham, semoga Tuhan mengampuni dosa-dosanya dan menerangi kuburnya---adalah teman diskusi. Juga tempat kami ngutang. Nasi kucing, teh kental manis, tahu dan tempe bacem, sate keong, jadah bakar, sate usus, iso, dan aneka penganan hik lainnya menjadi menu utama yang disediakan Pak Man. Maklum, kocek mahasiswa yang pas-pasan dan mayoritas kami yang memang dari kelas pinggiran, memaksa kami harus ngutang, biar bisa bertahan hidup.Terutama di akhir-akhir bulan. Ketika uang kiriman belum sampai, Pak Man menjadi ’malaikat’ penyelamat kami.

Pak Man, ada di hati kami semua. Kesahajaannya, kearifannya, kemurahatiannya, seperti menggantikan Bapak kami. Dari semua itu, keberaniaanya untuk beristri dua, adalah sesuatu yang kami anggap luar biasa. Dia melakukan polygami. Aku lebih terperangah, saat dia bercerita kalau istrinya yang pertama dulu adalah bekas majikannya. Bukannya aku setuju dengan jalan dia beristri dua, tetapi ada hal yang sulit diterima akal dan Pak Man bisa melakukannya. Coba bayangkan, kira-kira berapa penghasilan penjual hik ’biasa’ seperti Pak Man ini. Datang sore, dengan gerobak dorong, lalu mangkal sampai jam satu. Aku tak yakin, penghasilan bersih yang diraup saat itu tak lebih dari Rp 25 ribu per malam. Tapi toh dia mampu menghidupi dua istri, sudah pasti dengan anak masing-masing. Lelaki berpolygami---baik terang-terangan atau sembunyi-sembunyi---tidak sedikit. Tetapi orang berpolygami dengan latarbelakang seperti Pak Man, tidak banyak.

3 Agustus, 2006

No comments: