Thursday, August 16

Bencana, Mengapa Dilupakan?


Dua tahun lalu Aceh luluh lantak diterjang tsunami. Bencana yang tercatat sebagai yang terbesar sepanjang sejarah itu telah merenggut lebih dari 132 ribu nyawa. Rumah dan bangunan rata dengan tanah, pemerintahan lumpuh, termasuk lumpuhnya sendi-sendi kehidupan ekonomi untuk beberapa lama.

Dua tahun telah berlalu, banyak perubahan yang terjadi di Aceh seiring dengan dilaksanakannya program rehabilitasi dan rekonstruksi. Hadirnya berbagai lembaga donor international, NGO, dan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias telah mempercepat proses rehabilitasi dan rekonstruksi itu. Pelan tapi pasti, kehidupan ekonomi masyarakat Aceh berangsur pulih. Ruko-ruko bermunculan di mana-mana, pedagang kaki lima dengan aneka barang dagangannya mulai memenuhi ruas-ruas trotoar di beberapa sudut kota Banda Aceh.

Menggeliatnya kehidupan ekonomi masyarakat Aceh di satu sisi sebagai penanda positif akan keberhrhasilan program rehabilitasi dan rekonstruksi. Namun perlu diingat bahwa pemulihan ekonomi hanya salah satu aspek saja yang memang harus dikerjakan dalam program rehabilitasi dan rekonstruksi. Bagaimana dengan bidang yang lain, seperti; kesehatan, pendidikan, perumahan, hingga, aspek pengelolaan risiko bencana. Aspek terkahir ini tampaknya justru kurang banyak mendapat perhatian, termasuk oleh Pemerintah Provinsi NAD sendiri.

Kurangnya perhatian Pemprov NAD terhadap pengelolaan risiko bencana setidaknya terlihat dari dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2007-2012 provinsi ini yang tidak menyinggung sama sekali masalah penanganan bencana sebagai salah satu prioritas pembangunannya.

Dari enam bidang prioritas pembangunan yang ada (ekonomi, hukum politik dan pemerintahan, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan sosial budaya), aspek pengelolaan risiko bencana benar-benar ‘dilupakan’, bahkan sekedar masuk menjadi sub-sektor pun tidak. Tampaknya Pemprov NAD kembali terjebak pada rutinitas program-program pembangunan yang selama ini dilakukan. Meski tsunami 2004 menarik perhatian dunia internasional dan secara tidak langsung menjadi trigger terciptanya perdamaian di Aceh hari ini, namun toh Pemprov NAD tidak melihatnya sebagai sesuatu yang benar-benar penting.

Ironis memang. Disaat pemerintah (pusat) mulai memberi perhatian serius terhadap penanganan bencana, justru Pemprov NAD yang notabene rawan bencana tidak menunjukkan komitmen serupa. Seperti diketahui, awal tahun ini Pemerintah Pusat telah meluncurkan Rencana Aksi nasional untuk Pengurangan Risko Bencana. Penanganan bencana dan mitigasi juga ditetapkan sebagai salah satu dari sembilan prioritas Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2007. Kesungguhan pemerintah pusat dalam menangani bencana juga ditunjukkan dengan dikeluarkannya UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pada titik ini setidaknya pemerintah sudah menunjukkan kemajuan bagaimana mengintegrasikan kegiatan pengurangan risiko bencana ke dalam program pembangunan.

Warisan paradigma lama

Jika mau jujur, kurang sensitif dan proaktifnya Pemprov NAD dalam mengelola risiko bencana di daerahnya tidak terlepas paradigma lama penanganan bencana yang diwarisi selama ini. Mereka yang berpikir konservatif masih melihat bencana semata-mata dari perspektif tanggap darurat (emergency respon). Bencana lebih dilihat sebagai kejadian yang perlu direspon ketika peristiwanya benar-benar terjadi. Tidak perlu heran bila kemudian terjadi keruwetan dalam penanganannya. Dampak paling buruk dari cara pandang semacam ini adalah makin besarnya risiko korban dan kerugian yang dialami.

Dalam konteks kejadian bencana di Aceh, bencana banjir di Aceh (Tamiang) akhir tahun lalu (2006) membuktikan betapa cara pandang ‘tanggap darurat’ dalam penanganan bencana tidak efektif. Tidak adanya kesiapan sarana dan prasarana ditambah buruknya koordinasi makin melengkapi carut marutnya penanganan bencana di Aceh Tamiang saat itu. Seharusnya itu tidak perlu terjadi jika Pemkab Aceh Tamiang dan Pemprov NAD belajar dari pengalaman penanganan bencana tsunami 2004 lalu. Waktu dua tahun sebenarnya cukup waktu bagi pemerintah untuk menyiapkan segala sesuatunya.

Berkaca dari pengalaman-pengalaman bencana yang sudah terjadi, pemerintah dan pelaku penanganan bencana harus merombak paradigma kedaruratan itu menjadi paradigma penanganan bencana secara utuh. Artinya penanganan bencana harus dilihat sebagai satu keseluruhan pengelolaan baik sebelum, pada saat dan sesudah terjadi bencana. Implikasi dari cara pandang ini adalah fokus penanganan bencana justru lebih dititik beratkan pada upaya pengurangan risiko, bukan pada penyelamatan korban ketika bencana benar-benar terjadi.

Pekerjaan Rumah BRR

Proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh hingga hari ini masih menyisakan banyak persoalan. BRR Aceh-Nias adalah salah satu pihak yang paling banyak mendapat sorotan dalam hal ini. Kasus korupsi pengadaan buku, tingginya gaji pegawai BRR, pembangunan rumah untuk korban tsunami yang tertunda-tunda dan tidak sesuai dengan janji di awal adalah beberapa masalah yang memicu kritik dan protes itu.

Terkait dengan bantuan rumah untuk korban tsunami, BRR bukan hanya dihadapkan kelakuan kontraktor-kontraktor nakal, tetapi juga banyak manipulasi data yang dilakukan warga sehingga muncul kasus satu korban mendapatkan bantuan 2 atau tiga rumah, bahkan ada yang kedapatan mendapat 10 bantuan rumah.

Dengan hanya menyisakan waktu tidak lebih dari dua tahun, BRR dituntuk bekerja keras untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Sampai hari ini BRR masih punya tanggungjawab terhadap 14.000 KK korban tsunami yang belum mendapat bantuan rumah tinggal dan masih menghuni barak pengungsian.

Tantangan terbesar yang dihadapi BRR Aceh-Nias sebenarnya adalah bagaimana melakukan transisi program rehabilitasi dan rekonstruksi itu kepada pemerintah daerah setempat. BRR Aceh-Nias, dan lembaga-lembaga internasional lainnya tidak selamanya bekerja di Aceh, sehingga ketiga program rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh selesai, pemerintah daerah dan seluruh komponen yang ada di Aceh harus mampu mengambil alih peran itu. Namun tampaknya transisi itu tidak bakal berjalan mulus mengingat sampai hari ini koordinasi antara BRR dan pemerintah Aceh belum berjalan dengan baik. Ada kesan bahwa program yang dikerjakan BRR Aceh-Nias hari ini berdiri terpisah dengan apa yang dilakukan oleh Pemprov NAD. Contoh paling gamblang dalam hal ini adalah ketika Pemprov NAD menyusun RPJM 2007-2012 beberapa waktu lalu, tak satupun petinggi BRR kelihatan di forum itu. Entah BRR-nya yang tidak peduli atau Pemprov NAD-nya yang tidak memandang penting keterlibatan BRR dalam proses itu.

Bagaimanapun ada hal yang cukup menggembirakan yang dilakukan BRR dalam upayanya untuk meningkatkan koordinasi dengan pemerintah daerah, yaitu dengan pembentukan Satuan kerja (satker) yang melibatkan pemerintah daerah dan pembentukan sekretariat bersama (joint secretary) antara BRR, pemerintah daerah dan NGO/INGO. Secara teori langkah ini bisa jadi akan mengharmoniskan ketidaksinkronan berbagai program yang dikerjakan BRR selama ini dan memuluskan transisi program rehabilitasi dan rekonstruksi. Berhasil tidaknya bergantung kepada semua komponen yang terlibat di dalamnya. Kemauan politik sudah ada, tinggal bagaimana mengimplementasikannya.

Bersiap Menghadapi bencana

Bencana sebenarnya bukan ‘barang’ baru di Indonesia, termasuk Aceh. Bencana tak ubahnya sebagai agenda rutin tahunan, berpindah dari tempat satu ke tempat lainnya. Malangnya, dari berbagai peristiwa bencana tersebut pemerintah dan para pelaku penanganan bencana tidak bisa mengambil pelajaran, sehingga kesalahan terus terulang dan terulang.

Bagaimana dengan pemerintah dan masyarakat Aceh? Tak ada bedanya.
Membayangkan pemprov dan masyarakat Aceh sebagai sebuah komunitas yang siap menghadapi bencana sepertinya masih memerlukan waktu dan pekerjaan panjang. Dengan melihat kondisi hari ini, ketika suatu saat terjadi bencana tsunami lagi hampir bisa dipastikan Aceh tidak siap. Tentu tak seorangpun berharap korban-korban akan berjatuhan lagi hanya karena pemerintah dan masyarakat tidak menyiapkan segala sesuatunya sejak awal.

Ketidaksiapan pemerintah dan masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana setidaknya bisa dilihat dari 5 (lima) hal berikut; kesiapan infrastruktur, kebijakan, kesiapan kelembagaan, peningkatan kesadaran, dan sistem peringatan dininya.

Pertama, masalah infrastruktur. Pembangunan infrastruktur sampai hari ini masih banyak berkutat pada penyediaan rumah untuk korban tsunami, perbaikan jalan, sekolah, atau bangunan vital lain untuk layanan publik. Belum satupun bangunan yang dibuat khusus sebagai tempat evakuasi ketika terjadi tsunami. Entah karena keterbatasan dana atau karena memang Pemprov NAD belum punya perencanaan untuk menyediakan gedung evakuasi (escape building) itu. Bila persoalannya ada pada dana, Pemprov NAD mestinya bisa kerjasama dengan BRR Aceh-Nias atau lembaga-lembaga donor lainnya untuk membangunnya.

Demikian juga pembuatan jalur evakuasi. Sejauh ini pembuatan jalur evakuasi baru dibuat di satu titik, yaitu dengan dibangunnya ruas Jalan di Ulee Lheue, Aceh Besar. Meski demikian, ruas jalan ini tidak dibuat secara khusus sebagai jalur evakuasi yang langsung terhubung dengan gedung evakuasi, atau setidak-tidaknya ke bukit/lokasi yang memiliki ketinggian tertentu sehingga aman dari terjangan tsunami.

Perhatian tak kalah penting dari aspek infrastruktur ini adalah bagaimana seluruh bangunan yang didirikan sejak masa rehabilitasi dan rekonstruksi ini memperhatikan aspek risiko bencana. Baik rumah maupun fasilitas publik yang dibangun setidaknya dibuat dengan rancangan tahan gempa. Faktanya beberapa kasus ditemukan rumah bangunan untuk korban gempa dan tsunami ternyata tidak memenuhi standar itu dan harus dibongkar ulang.

Kedua, kebijakan. Seperti juga daerah-daerah lain di Indonesia, Pemprov NAD sampai hari ini belum memiliki payung hukum berbentuk Peraturan Daerah (Qanun) tentang penanggulangan bencana. Mengingat kondisi Aceh yang rawan bencana maka pengaturan berbagai hal tentang penanganan bencana perlu diatur khusus dalam sebuah Qanun. Terlebih lagi Pemerintah Pusat telah menerbitkan UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana yang diharapkan bisa menjadi acuan bagi daerah-daerah untuk membuat peraturan terkait masalah itu.

Demikian juga sampai hari ini Pemprov NAD belum satu pun mengeluarkan prosedur tetap (protap) penanggulangan bencana, pasca tsunami. Memang saat ini ada upaya untuk menyiapkan protap bencana tsunami yang dilakukan oleh United Nations Development Programs (UNDP) bekerjasama dengan SATKORLAK PB Provinsi NAD. Masih perlu waktu untuk menguji keefektifan protap ini, selain harus diujicobakan masih diperlukan dukungan infrastruktur dan sarana lainnya. Salah satunya adalah terpasangny sistem dan teknologi peringatan dini menghadapi tsunami.

Selain protap tsunami, Pemprov NAD juga perlu memikirkan dari sekarang protap penanganan bencana lainnya, seperti banjir dan tanah longsor yang merupakan ancaman bencana serius di NAD.

Ketiga, masalah kelembagaan. Perubahan mendasar yang diperlukan untuk perbaikan penanganan bencana adalah bagaimana menyiapkan lembaga penanganan bencana yang kuat dan efektif. Kuat dalam hal kewenangan juga efektif dalam melakukan tindakan-tindakan yang bersifat teknis operasional. Dengan masih mengandalkan model kelembagaan yang ada sekarang (SATKORLAK PB), sulit bagi pemerintah provinsi NAD untuk berbuat lebih banyak dalam penanganan bencana. Karena momentum lahirnya UU tentang Penanggulangan Bencana harus segera disambut Pemprov NAD dengan membuat qanun penanggulangan bencana.

Keempat, aspek kesadaran terhadap bencana merupakan faktor penentu bagaimana suatu masyarakat dan pemerintah bisa menyikapi atas ancaman bencana yang mengelilinginya. Dalam peristiwa tsunami 2004, ketidaktahuan informasi dan rendahnya kesadaran pemerintah terhadap ancaman tsunami menjadi salah satu pemicu besarnya korban yang ditimbulkan. Terlepas dari magnitude tsunaminya sendiri yang begitu besar, minimnya pengetahuan, informasi dan kesadaran membuat masyarakat tidak tahu tindakan terbaik yang harus dilakukan ketika terjadi tsunami.

Pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemprov NAD khususnya ke depan adalah bagaimana informasi dan pengetahuan tentang tsunami dan bencana-bencana lainnya secara terus-menerus dan simultan disampaikan sejak dini. Dalam konteks ini peran sekolah dan keluarga cukup penting. Pengenalan informasi tentang bencana melalui kurikulum pendidikan tampaknya bisa berhasil bila diberikan ruang dan disalurkan secara tepat lewat dunia pendidikan dan media informal lainnya. Media, tentu saja menjadi agen penting untuk penyebaran informasi dan peningkatan penyadaran ini.

Cara efektif lainnya untuk membangun kesadaran dan kesiapan menghadapi bencana masyarakat Aceh adalah dengan melakukan drill/gladi menghadapi gempa dan tsunami. Beberapa lembaga memang sudah melakukan praktik semacam ini namun dalam lingkup yang sangat kecil (community). Untuk urusan yang satu ini, Pemprov Aceh masih ketinggalan dengan Pemprov Sumatera Barat dan Pemprov Bali yang masing-masing sudah melakukan satu kali drill menghadapi tsunami.

Kelima, terpasangnya sistem peringatan dini. Sampai hari ini di Aceh sudah terpasang 6 (enam) sirine untuk peringatan dini tsunami. Sayangnya keenamnya belum bisa difungsikan. Bahkan untuk menentukan bagaimana seharusnya bunyi sirene saja belum ada kesepakatan. Meski terpasang cukup lama, sampai sekarang keenam sirine itu belum pernah diujicobakan. Lambatnya kesiapan sistem peringatan dini ini tidak lepas dari belum jelasnya pembagian wewenang dari atas (pemerintah) sampai ke masyarakat. Pemprov NAD dan masyarakat Aceh yang notabene bersentuhan langsung dengan ancaman tsunami di wilayahnya perlu mendesakkan berfungsinya sistem peringatan dini tsunami ini. Tidak bisa lagi terus-terusan menunggu BMG, LIPI, Ristek, Bakornas PB atau pihak-pihak lain. Semua pihak yang berkompeten dengan masalah ini perlu segera duduk satu meja untuk menuntaskan kesiapan sistem peringatan dini dan selanjutnya diujicobakan.

3 comments:

Anonymous said...

Hai Cak (atau Mas, ya?) Amin, apa kabar? Terimakasih sudah berkunjung ke the beautiful sarimatondang dan kasih komen tentang buku To See the Unseen.

Slamat berbakti di NAD ya. Tabik dari Jakarta,

e.e.siadari

Asri said...

MAs Amin, tulisannya bagus-bagus... Jadi kangen ngobrol sama panjenengan lagi. Salam dari Albany :)
-Asri-

Pengelana Jiwa said...

Asriii...:-) belum lama berselang ketemu Malikah Amri, kutanya dirimu ternyata blm selesai, tapi masih on schedule kan? oh ya, aku add id skype-mu...pls check ya.:-)