Monday, September 17

TOA, Ramadhan dan Intoleransi

TOA, merek pengeras suara yang sudah identik dengan pengeras suara itu sendiri. Orang menyebut TOA sama halnya ketika orang menyebut AQUA, ODOL, Honda, atau RINSO. Beli AQUA berarti beli air mineral yang sesungguhnya ada banyak merek lain: Ades, Aquaria, atau Vit. Demikian pula ODOL, maksudnya adalah pasta gigi yang mereknya juga tersedia banyak: Pepsodent, Close-Up, Ritadent, Siwak, Ciptadent dan sebagainya. Adapun Honda, dianggap sudah mewakili merek Yamaha, Kawasaki, Suzuki, atau Kanzen. Adapun Rinso, serbuk deterjen ini terlanjur dianggap mewakili merek Attack, Soklin, merek-merek deterjent pencuci lainnya.

Soal TOA, setelah browsing beberapa saat, tak berhasil juga kutemukan singkatan tiga huruf itu. Justru yang kuingat setelah muncul polemik di sebuah milis, ingatanku tertuju ke sosok yang kukenal beberapa tahun silam. Aku lupa namanya, tapi pria ini adalah lelaki asal Aceh yang masuk DPO aparat keamanan. Karena dianggap terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM), lelaki ini berlindung di kantor lamaku. Gelar TOA mungkin sampai sekarang tidak pernah disadari oleh orang yang bersangkutan. Tetapi saat itu, setiap temanku yang lain menyebut sosok ini dengan TOA, kami semua terpingkal.

Sebutan TOA untuk dirinya, dipicu oleh kebiasaannya yang bicara sangat keras tak mengenal kata putus. Bahkan tak peduli apakah orang yang ada di sekitarnya mendengar dan memerhatikan 'orasi' dia atau tidak. Terus saja si TOA ini nyerocos tiada ujung. Aku, termasuk orang yang terusik dengan caranya 'berorasi' itu, meski tak pernah menyatakan langsung ketidaksetujuanku atau bentuk protesku kepadanya. Yang pasti, gelaran TOA sangat melekat dengan setiap kemunculannya. Hingga sekarang, sosok misterius itu tak pernah kudengar lagi khabarnya. Aku juga tidak mendengar khabar apakah dia termasuk satu dari ratusan ribu orang yang diterjang tsunami 2004 lalu. Semoga saja dia masih hidup dan aku berkesempatanya mendengar lagi aksi TOA-nya.

*****
Ramadhan, bagi mayoritas muslim di Indonesia, juga dunia selalu disambut antusias. Di tahun-tahun terakhir, semenjak HP bisa diakses oleh siapa saja, sambutan Ramadhan diwujudkan dalam bentuk kiriman pesan singkat (SMS). Ada yang berisi doa, permohonan maaf (lahir dan batin lho), nasehat-nasehat, atau yang sekedar ucapan selamat belaka. Di Aceh, bahkan orang menyediakan waktu khusus selama tiga hari untuk menyambut Ramadhan. Orang Aceh punya tradisi 'Meugang' atau 'Nyadran' bagi orang Jawa. Selama tiga hari itu, mereka sibuk meninggalkan berbagai aktifitas pekerjaan. Konsentrasinya membantu keluarga, mulai dari menyiapkan masakan-masakan berdaging, kumpul keluarga besar, buat selamatan kecil hingga mengundang pulang saudara-saudara di perantauan untuk bersama-sama menjalani ritual meugang.

Lalu, apa kaitan TOA dengan kebiasaan menyambut Ramadhan? TOA, sesuatu yang dipersoalkan di sebuah milis, dianggap disalahgunakan oleh banyak muslim di Indonesia. Siang malam, tak peduli orang lagi istirahat, orang-orang di sekitar masjid/mushalla 'diteror'dengan pengeras suara merek TOA ini. Katanya, TOA telah mengusik ketenangan orang, TOA juga menerenggut sebagian hak kita sebagai manusia. Sebagian seolah tak peduli, betapa mengganggunya kebiasaan pakai TOA ini keras-keras, apalagi di bulan puasa sekarang.

Di kampungku, dan mungkin juga di kebanyakan kampung di Indonesia yang notabene dihuni oleh mayoritas muslim TOA mungkin tidak pernah jadi masalah. Puluhan tahun aku tidak merasa terganggu dengan kehadiran TOA ini, meski 'meraung-raung' sampai dini hari. Memang atas kesadaran sendiri, orang-orang di kampungku tidak lagi menggunakan TOA saat tadarus selepas jam 24.00 WIB. Artinya setelah itu orang tetap boleh bertadarus dengan catatan tidak dinaikkan ke TOA.

TOA di kampungku memberi sensasi tersendiri. Dari TOA lah, alunan ayat suci Al-Qur'an dikumandangkan dan itu memberi kesan mendalam tentang suasana bulan romadlon. Tanpa TOA, berarti tidak ada panggilan sahur. Tanpa TOA, juga tidak terdengar lantunan ayat-ayat suci. Tanpa TOA, orang tidak lagi mendengar peringatan waktu imsya' tiba. Assholaatu assalaamu'alaik..ya rasulallah....Suara-suara itu tidak menggangguku, sebaliknya suara-suara itu membuatku kangen saat berada di negeri orang. Tanpa TOA, romadlon benar-benar garing. Dari semua itu, tentu yang paling menyejukkan adalah lafadz2 imam masjid di belakang rumahku, yang tiap romadlon selalu mendatangkan hafidz dari pesantren sebelah. Satu bulan penuh TOA menyejukkan kami, dari Al-Baqarah sampai Al-Ikhlas yang dibaca khatam sampai akhir romadlon.

Lalu bagaimana TOA di kota-kota besar? Di Jakarta, orang2 yang mengaku intelektual dan tercerahkan merasa terusik dengan kehadiran TOA. Aku memakluminya. Jakarta jelas beda dengan kampungku. Orangnya pluralis, agamanya A-Z, rumahnya berimpitan. Jadi kalau sepanjang malam TOA meraung-raung terus, tentu mereka tidak bisa istirahat, malah mungkin menyebabkan mereka tidak khusuk beribadah. Penggunaan TOA diluar kendali dus bertentangan dengan toleransi yang dijunjung tinggi agamaku. Aku mengerti, alasan pembatasan TOA di kota-kota besar sangat masuk akal. Tapi bukannya dilarang sama sekali. Gunakan saja TOA seperlunya, saat adzan atau pengumuman2 penting yang menyangkut hajat orang2 di sekitar masjid atau mushalla itu berada.

No comments: