Thursday, August 16

Kopi Aceh dan Budaya Malas

Para maniac kopi pasti tak asing dengan Kopi Aceh. Aroma dan rasa kopi ini berbeda dengan Kopi Lampung, Kopi Toraja, ataupun kopi made in Bakoel Coffee. Apalagi dibandingkan kopi keluaran waralaba dari negeri Paman Sam itu, jauhhhhh banget.

Bagi yang biasa menikmati kopi tubruk, jangan harap bisa menemukan di Aceh. Tak satupun kedai kopi yang kutemui melayani kopi tubruk. Tidak seperti kopi Jawa Timur-an yang selalu diseduh dengan menyertakan butiran-butiran seukuran upil, kopi Aceh praktis tidak ada butiran-butiran upil itu. Kopinya digiling halus, sehalus tepung. Bubukan kopi itu kemudian dimasukkan dalam air mendidih, tanpa gula. Tapi ada juga yang langsung memasukkan gula ke dalamnya. Bila ada yang pesan, tukang kedai kopi akan menyiduk seperlunya untuk kemudian disaring dengan kain kassa.Uniknya, saat menyaring kopi hampir pasti si tukang kedai kopi mengangkat tinggi-tinggi. Entah apa maksudnya, tapi kebanyakan percaya semakin tinggi mengangkat penyaring dari gelas makin nikmat kopinya. Hasil kopi saringan ini kemudian menimbulkan buih, coklat keputihan. Makin banyak buih, dipercaya makin nikmatlah kopi itu. Orang Aceh menyebutnya dengan "Kopi Tarik".

Hampir di setiap sudut di Banda Aceh, selalu ada kedai kopi. Dan kedai kopi paling kesohor adalah kedai kopi "SOLONG". Puluhan bahkan ratusan orang mendatangi kopi ini setiap hari, dari pagi hingga malam. Entah berapa juta omzet yang diperoleh setiap hari, tapi ada yang bilang lebih dari 10 juta perharinya. Saking kesohornya kedai kopi ini, semua orang dari berbagai strata sosial bisa dipastikan tahu di mana letak kedai kopi Solong.

Bagi orang Aceh yang kebetulan minim fasilitas hiburan, kedai Solong menjadi ruang publik yang mempertemukan orang dari berbagai strata dan beragam kepentingan. Politisi, pejabat pemerintah, aktifis, pengusaha, para ekspatriat atau mahasiswa sering menjadikan SOlong sebagai tempat kencan. Seorang Irwandi pun setelah menjabat gubernur juga masih menyempatkan diri singgah di kedai ini, menjamu para tamu, termasuk calon-calon investor yang ingin berinvestasi di Aceh.

Pasca tsunami, orang luar yang datang ke Aceh selalu menyempatkan diri ngopi di Solong. Hanya dengan 1500 perak, orang bisa menikmati kopi yang benar-benar Aceh. Bagi yang ingin bawa oleh-oleh, kedai Solong juga menyediaan kopi bubuk, 12.500 perak seperempat kilonya.

*****
Lalu apa hubungannya kebiasaan ngopi orang Aceh dengan budaya malas? Sebenarnya keduanya tidak berhubungan sama sekali. Stigma 'budaya malas' itu cuma dihubung-hubungkan saja. Otak atik mathuk. Faktanya, orang memang bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menenggak secangkir kopi. Mereka-mereka ini dicap pemalas, atau pengangguran. Parahnya lagi, di saat jam-jam sibuk, atau pada jam produktif (8.00-13.00 WIB), sering dijumpai orang berseragam (PNS), nyangkruk di warung kopi. Ini makin melegitimasi betapa malasnya orang Aceh.

Orang yang terlalu cepat berkesimpulan bahwa orang Aceh malas tampaknya mengabaikan latar sosial-politiknya. Selama puluhan tahun Aceh dilanda konflik. Boleh jadi, ketakutan dan trauma terhadap konflik itu membuat orang enggan beraktifitas. Bukan hanya ruang gerak yang terbatas, dimana di masa lalu nyaris tidak ada tempat yang benar-benar aman, dengan nongkrong di kedai kopi mereka berharap dapat info-info paling gress.

Soal PNS yang nongkrong di kedai kopi, sebenarnya ini tidak ada bedanya dengan PNS-PNS di tempat lain. Bedanya, kalau di Aceh para PNS menghabiskan waktunya di kedai kopi, di tempat lain para PNS ini melakukannya dengan ngegame, main pinpong, main kartu, atau membolak-balik koran. Dus, PNS di lingkungan Pemda ya begitu semua.

Untunglah warga Aceh punya gubernur yang gerah kalau melihat bawahannya ongkang-ongkang di kedai kopi. Dibandingkan enam bulan lalu, kebiasaan para PNS yang nongkrong di kedai kopi sudah jauh berkurang. Irwandi memang galak, dan menyatakan "perang" terhadap aparat pemda yang nggosip ngalor-ngidul di kedai kopi. Angkat topi untuk Irwandi, moga-moga kondisi ini bisa berlanjut untuk seterusnya, meski kelak berganti gubernur.

Kebiasaan ngopi, sebenarnya tidak terkait dengan budaya malas. Tradisi Ngopi, sebenarnya lebih dijadikan sebagai media untuk bertukar ide dan memperoleh info-info paling hangat. Bagi orang Jawa, ngopi di siang hari, apalagi berjam-jam adalah tidak lazim. Kebiasaan ngopi di Jawa adalah malam hari. fungsinya juga sama, sebagai media bertukar ide dan berbagi berita. Tapi orang Aceh bukan Jawa gitu lohhhhh........ahh peduli amat dengan "kemalasan".

No comments: