Friday, February 15

Kawis Ulee Kareng, khas Rembang atau Indonesia ?

Di sebuah blog, pemiliknya menyebut kalau buah Kawis (Limonia acidissima L) adalah buah khas Rembang. Kalau disebutkan khas Rembang, aku tidak sependapat. Kalau disebutkan asal Rembang, aku belum yakin. Pasalnnya buah ini bisa ditemukan di banyak tempat. Selain di Rembang, Kawis juga bisa ditemukan di Pati, Ponorogo, bahkan di Aceh. Aku juga pernah melihat satu pohon yang tumbuh di tetangga kampungku di Maospati. Persisnya di halaman masjid Al-fatah, Karangrejo-Magetan.

Ternyata benar, setelah aku telusuri buah ini bisa dijumpai di banyak tempat. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di India, Sri Lanka, Burma dan Indo Cina. lengkapnya lihat di sini.

Kawis, aku kenal dan aku nikmati saat kelas 4 SD. Waktu itu aku sempat pindah sekolah ke Ponorogo. Mbok-mbok yang lewat depan rumah yang mengenalkanku dengan buah ini. Gendongan senik--kranjang bambu--dipunggungnya selain diisi kawis, juga tempe, capar, ganteng--orang jakarta menyebutnya Taoge--dan sayuran lainnya. Tiap pagi si mbok itu lewat depan rumah dan pasti mampir.

Buah ini kulitnya keras. Untuk membelahnya tidak bisa dengan pisau. Mungkin perlu bantuan alat pemecah, bukan pengupas seperti pisau. Kalau aku dulu pakai cara praktis, tak kepruk di lantai, atau dipecah dengan batu, balok kayu atau gagang pisau besar. Buah ini seukuran kepalan tangan orang dewasa, atau sedikit lebih besar. Kulitnya berwarna coklat muda, atau mungkin lebih pas warna krem. Kalau sudah masak, dagingnya berwarna coklat gelap, nyaris hitam, dengan jumlah biji yang lumayan banyak.

DI Ponorogo, tempat aku dulu tinggal, Kawis dikenal sebagai buah untuk dimakan. Belum dikenal sebagai bahan sirup seperti yang dikembangkan di Rembang. Kawis yang sudah dipecah, daging buahnya ditaburi gula pasir. Lalu diaduk rata dengan sendok. Selasai, siap disantap. Kalau tanpa gula rasanya asem, tapi setelah ditaburi gula, rasanya asem kemanis-manisan, atau manis keasem-aseman. Aromanya yang paling aku suka. Sangat khas, dan aroma inilah yang sering membuatku kangen untuk memburu buah ini.

Beberapa tahun setelah tidak di Ponorogo, aku memburu buah ini. Sekedar untuk menghilangkan "ngidam" saja. Tapi simbok itu ternyata sudah meninggal. Aku mencoba menelusuri ke pasar besar, Pasar Legi Ponorogo. Sayang, buruan gagal kutemukan. Beberapa tahun kemudian aku dapat informasi dari media tentang pemanfaatan Kawis sebagai bahan dasar Sirup. Industri sirup Kawis, menurut laporan media itu banyak terdapat dirembang. Malah, Kawis dilabeli sebagai buah khas Rembang. Sejauh ini memang daerah yang mengembangkan industri sirup dari Kawis cuma Rembang, atau sebagian terdapat di Pati. Keduanya di pesisir utara Jawa Tengah.

Awal tahun lalu (2007), aku berkesempatan dapat tugas ke Aceh. Di sebuah pasar tradisional, Ulee Kareng. Tidak jauh dari kedai kopi Solong yang sangat mashur itu. Aku juga tidak sengaja menemukan buah ini. Hari itu aku berniat beli pisang, eh kok mataku menangkap buah yang sekian lama aku buru. Akhirnya kubeli satu buah itu. Di Ulee Kareng, Kawis yang agak besar dijual dengan harga Rp. 5000,-. Aku tidak tahu, berapa harga sebuah Kawis kalau di Rembang. Dugaanku pasti jauh lebih murah. Di Aceh, semuanya memang serba mahal. Nah, Kalau di Ponorogo dulu, tahun 80-an, mungkin harganya masih puluhan saat itu. Aku lupa persisnya karena tak pernah bayar, alias tinggal makan.

Beda Rembang, beda Ponorogo, beda pula Aceh. Kawis di Aceh bukan untuk dimakan, atau dibuat sirup seperti di Rembang. Buah yang oleh orang Aceh disebutnya dengan nama BUAH BATU--mungkin terinspirasi oleh kulitnya yang keras--ini menjadi campuran bumbu rujak. Belum pernah aku melihat orang Aceh makan Kawis. Rujak Aceh yang segar dengan aroma khas itu, ternyata dibumbui Kawis. Hmmm...membayangkan saja sudah keluar air liur nih. Jadi pengen makan Kawis.

No comments: