Friday, February 15

Simbahku...


Mbah Umi ziarah ke tanah suci akhir tahun 1970-an. Aku belum pernah bertanya, tahun berapa persisnya Mbah Umi menjalankan rukun Islam kelima itu. Dari cerita orang-orang tua, perjalanan Mbah Umi ke Mekkah penuh perjuangan. Tahun-tahun itu orang-orang Indonesia termasuk Mbah Umi kalau ke Mekkah harus naik kapal laut. Perjalanan memakan waktu berhari-hari, bahkan mingguan. Tidak seperti sekarang, dengan pesawat perjalanan hanya ditempuh dalam hitungan jam.

Saat itu Mbah Umi sudah berstatus janda. Mbah Umar, suaminya sudah menghadap duluan saat ibuku dan anak-anaknya masih kecil. Karena berstatus janda, mbah Umi tidak ditemani muhrim yang sesungguhnya. Jalan keluarnya dicarikan muhrim-muhriman. Aku tidak pernah tahu, siapa orang yang dijadikan muhrim oleh mbah Umi selama di Tanah Suci.

Di kapal, Mbah Umi sempat hampir dibuang ke laut. Kata budhe, Mbah Umi sempat "mati suri" beberapa hari. Hingga akhirnya disangka benar-benar sudah meninggal. Menurut cerita, Mbah Umi bangun dari tidur panjangnya, gara-gara mendengar orang-orang di kapal ada yang menawarkan sayur asem. Banyak orang percaya mithos, kalau seseorang pernah mati suri, umurnya bakal panjang. Mungkin kebetulan, dan pasti karunia Tuhan kalau akhirnya Mbah Umi sempat menikmati hidup di dunia hampir 90 tahun lamanya.

Mbah Umi meninggal, saat aku duduk di kelas 3 SD, persisnya Tahun 1983. Tidak terlalu banyak yang bisa kuingat waktu itu. Sebelum meninggal, Mbah Umi sempat sakit-sakitan selama hampir satu bulan. Selama itu, mbah Umi mendapat perawatan berpindah-pindah. Semua anaknya kebagian merawat Mbah Umi, termasuk dirawat ibuku beberapa minggu. Seingatku, seminggu sekali waktu itu ada dokter yang rutin datang ke rumah untuk ngecek kesehatan mbah Umi. Persinggahan terakhir mbah Umi ditempat anaknya nomor 4, pak Ma'sum, paklikku.

detik2 terakhir menjelang kepergiannya, orang-orang membaca Yasin. Aku sudah bisa baca Qur'an waktu itu, tapi tidak ikutan nimbrung baca Yasin. Maklum, anak seusiaku tidak tahu-menahu dengan urusan seperti itu. Ibu dan bulikku, adalah dua orang anaknya yang tidak bisa menyaksikan saat-saat ruh mbah Umi berpisah dari jasadnya. Waktu itu aku dan ibuku pergi untuk sholat Ashar di masjid tinggalan mbah Umi, jaraknya 10 menit-an dari tempat mbah Umi dirawat. Begitu kami balik, orang-orang sudah sibuk menyiapkan pemandian jenasah mbah Umi.

Aku belum cukup mengerti, mengapa jenasah mbah Umi tidak dimakamkan malam itu juga. Mungkin pertimbangannya waktu itu agar cukup waktu untuk menghubungi sanak saudara Mbah Umi yang tersebar di banyak tempat. Sementara di tahun-tahun itu, akses telpon belum semudah sekarang. Sehingga untuk menyampaikan kabar duka ini harus mengirimkan utusan khusus. Yang ada telp ya ditelp, yag tidak punya telpon terpaksa ya harus didatangi.

Pemakaman dilakukan esok hari. Lokasi pemakaman persis di belakang masjid, setelah sebelumnya aparat Babinsa melarang lokasi pemakaman beberapa puluh meter dari lokasi itu. Tadinya lokasi makam hanya beberapa jengkal dari jalan Lori. Tapi karena tanah itu belum diwakafkan, akhirnya dipindah di belakang masjid. Itulah makam pertama yang kemudian menyusul anak dan cucu-cucu mbah Umi.

Prosesi pemakaman dipimpin oleh Kyai nDurisawo, kalau tidak salah namanya mbah Ali Masdud yang tidak lain adalah sepupu mbah Umi. Aku ingat bagaimana mbah Ali yang gendut dan suaranya menggelegar itu "mentalqin" mbah Umi dan memimpin doa hingga selesai. Hari itu, setelah pemakaman usai, hujan turun begitu lebatnya disertai angin kencang. Memang waktu itu sedang musim hujan. Masuk akal. Aku tidak pernah menghubung-hubungkan hujan itu dengan kepergian mbah Umi, meski beberapa orang belakangan sempat menghubung-hubungkannya. Aku tak percaya itu. Wallahu a'lam.

*****

Mbah Umi, lengkapnya Umi Rofi'ah menikah dengan status perawan. Lahir di Sewulan, MADIUN. Ia dijodohkan dengan Mbah Abu Umar yang sudah berstatus duda, cerai tanpa anak. Kalau tidak salah Mbah Umi adalah perempuan ketiga yang dinikahi Mbah Umar. Karena gagal dua kali dalam pernikahan, Mbah Umar sempat mengembara untuk "menyendiri" beberapa lama. Sampai akhirnya di usia 40-an ketemu Mbah Umi yang masih gadis belasan tahun.

Di tanah yang kemudian menjadi tempat peristirahatan terakhir Mbah Umi itulah, Mbah Umar "babat alas", memulai kehidupan baru. Tanah tak bertuan itu berhektar-hektar, lokasinya agak terpencil, jauh dari perkampungan. Mbah Umar, katanya adalah orang ketiga yang mencoba menaklukkan wilayah "wingit" ini. Dua pendahulunya selalu gagal, kalau bukan orangnya, biasanya ternak-ternaknya yang mati. Saking wingitnya/angker, sering ada kejadian aneh. Pernah katanya, atap rumah yang terbuat dari daun kelapa habis dimakan ulat dalam waktu semalam. Bagaimana tidak aneh, wong di tempat itu banyak dedaunan hijau, tapi ulat-ulat ini lebih memilih daun kelapa kering. Pernah juga, katanya Mbah Umi lihat kerbau makan ranting-ranting bambu kering yang penuh duri. Kejadiannya juga malam hari, setelah itu kerbau jadi-jadian itu menghilang.

Cerita mistis, yang aku sendiri antara percaya dan tidak adalah "Pertarungan tujuh hari tujuh malam" mbah Umar dengan penguasa tanah itu. Entah berhadapan dengan jin, setan atau bangsa lelembut lainnya, yang jelas Mbah Umar bisa menaklukkannya. Aku sebenarnya tidak terlalu percaya. Bagaimanapun aku dibesarkan di lingkungan yang rasional, jauh dari kehidupan mistis. Tetapi kadang-kadang aku tergelitik juga, mencoba untuk bisa memahami cerita yang sebenarnya. Adalah Paklikku, orang yang secara tidak langsung memengaruhiku untuk percaya dengan cerita pertarungan itu. Paklik, dari keluarga Muhammadiyah tulen, alumni pondok modern Gontor, tapi percaya dengan cerita-cerita yang sangat tidak masuk akal itu. Mungkin alasan lain mengapa Paklik percaya dengan kelebihan Mbah Umar adalah cerita tentang "Plawonan".

Aku tidak tahu arti Plawonan sampai sekarang. Ini adalah nama dusun kecil tinggalan Mbah Umar. Konon, di lokasi inilah Mbah Umar pernah menebar garam, yang rasa asinnya baru hilang setelah bertahun-tahun. Singkong yang di tanam di tanah ini, kalau direbus sudah asin meski tidak ditaburi garam. Daerah ini dulu "grumbul", istilah untuk menyebut lokasi angker. Jaraknya hampir satu kilometer dari rumah yang didiami Mbah Umar. Selain menaburi garam, di awal-awal membuka tanah ini, dua ekor sapi yang dipakai untuk membajak dikalungi kain mori. Kain jenis teteron warna putih yang biasanya untuk mengkafani jenasah. Dari sinilah istilah Plawonan katanya muncul. Tapi aku tetap belum tahu, apa arti sesungguhnya. Setelah prosesi ini, tahun-tahun berikutnya tanah bisa digarap, menjadi tambahan sumber kehidupan baru.

Sambil memulai kehidupan baru, Mbah Umar membuka pesantren kecil-kecilan. Santrinya berasal dari Magetan dan sekitarnya. Santri mondok disitu gratis. Mereka tidak dipungut biaya se cen pun. Sebagai imbalan, para santri ikut membantu menggarap sawah. Sayang, pesantren ini tidak bertahan lama karena Mbah Umar keburu meninggal. Sementara anak-anaknya yang laki-laki masih kecil. Praktis tidak ada yang meneruskan.

*****

Sepeninggal Mbah Umar, mbah Umi hidup menjanda. lalu sempat kawin dan membuahkan seorang anak yang tak lain adalah adik ibuku. Tapi perkawinan kedua ini tidak berlangsung lama, karena harus bercerai dengan suami sambungannya. Inilah tahun-tahun terberat yang harus dihadapi Mbah Umi. Hidup menjanda dengan 5 orang anak yang masih kecil-kecil, tanpa tetangga. Hidup bertambah berat karena saat itu masih dijajah Belanda, lalu lebih berat lagi jaman Jepang.

Dengan mengandalkan hasil sawah yang lumayan luas, Mbah Umi bisa membesarkan anak-anaknya. Bahkan bulik akhirnya bisa kuliah di MALANG dan meraih gelar sarjana muda. Satu-satunya anak Mbah Umi yang berpendidikan tinggi.

Pada masa-masa itu, hidup memang benar-benar berat. Pencurian dan perampokan menjadi peristiwa keseharian karena orang harus mempertahankan asap dapur. Mbah Umi pun pernah menjadi sasaran empuk, kriminal-kriminal kelas kampung. Pernah, Mbah Umi kehilangan baju-baju, jarik, perhiasan, bahkan nasi di dapur. Pencuri masuk ke rumah dengan menggali tanah. Lalu dibuat "lorong tikus" yang memungkinkan pencuri masuk ke rumah. Cerita paling seru tentu saja saat Mbah Umi dirampok segerombolan orang. Demi mempertahankan perhiasan yang melekat di tubuhnya, Mbah Umi konon harus rela ditendang oleh orang-orang itu hingga tubuhnya terjengkang. Untungnya, atas usaha keras polisi waktu itu, gerompolan perampok itu berhasil diciduk--bukan pakai gayung--tapi dengan pistol kuno dan borgol. Belakangan diketahui kalau gerombolan ini dikomandani oleh bekas lurah desa yang masih satu kecamatan.

*****

Tidak banyak yang aku ketahui tentang sosok Mbah Umi. Katanya keras, seperti ibuku yang kebetulan wajahnya paling mirip dengan mbah Umi. Ibuku pernah disemprot, gara-gara terlambat sungkeman di hari lebaran.

Momen paling kuiingat dengan Mbah Umi adalah saat lebaran. Seperti biasa, semua cucunya berkumpul di rumah Mbah Umi. Minta Sawo dan jambu kluthuk yang memang banyak pohonnya di sana. Tentu saja sangunya yang ditunggu-tunggu oleh anak kecil seusiaku dulu. Mbah Umi juga pernah meminta ibuku pulang, pasalnya aku dan adikku nangis sepanjang hari.

Aku pernah ditertawakan Mbah Umi. Mbah Umi yang selalu memanggilku Aminan--nama pemberian Bapakku Baladan Aminan--menertawaiku saat aku lebaran duluan ke rumahnya. Bapak dan ibuku belum bisa sungkeman karena masih banyak tamu. Sore-sore, diiringi gerimis aku jalan kaki ke rumah mbah Umi. Begitu di depan pintu, aku mengetuk sambil mengucapkan salam.

"Assalaamualaikum", ucapku dari luar. "Waalaikum salam", dari dalam Mbah Umi menyahut. "Sinten?", lanjutnya. "Amin", jawabku kemudian. Aku menjawab agak takut-takut dengan suara yang sangat kecil. Belakangan aku ketahui, suaraku yang kecil banget, mirip anak perempuan itulah yang membuat mbah Umi tertawa.

Hingga duduk di bangku SMA, aku masih rajin ziarah ke makam Mbah Umi. Namun sejak kuliah aku sudah mulai jarang menengok pusaranya. Terakhir tahun kemarin aku tengok gundukan tanah di belakang masjid itu. Di bawah pohon sawo yang kini tidak lebat lagi buahnya, mbah Umi menikmati tidurnya yang benar-benar panjang.

Kini tidak ada lagi sisa-sisa senandung alam di tanah itu. Tak ada lagi burung Betet yang tiba berombongan saat musim jagung tiba. Tak ada lagi burung Glatik, Jalak, Kepodang, Perkutut, Kacer, yang selalu menyambut datangnya subuh. Di tepi blumbang, kolam kecil untuk wudlu-- belakang masjid itu, dulu aku sempat menyaksikan burung-burung itu melepas dahaga. Hanya Kutilang, Derkuku, emprit dan satu dua perkutut yang masih sempat aku saksikan belakangan. Satu persatu burung-burung itu lenyap, seiring dengan "matinya" aliran air dari atas, keringnya blumbang, dan punahnya pohon-pohon yang dulu begitu rimbun dan hijau. Kini, sepanjang tahun tanah itu silih berganti ditanami tebu, padi, dan palawija. Kandang ayam potong yang dirintis Pak Is, mulai kembang kempis bersamaan dengan mulai ganasnya wabah flu burung.

Aku masih memimpikan, tanah itu kelak hijau lagi, dan ramai lagi. Seperti dulu orang-orang sekitar antri untuk mengambil air di sumur satu-satunya yang terdapat di dusun itu. Aku hanya bisa berharap, sepupu-sepupu dan ponakan-ponakanku yang jauh mengerti tentang agama, bisa melanjutkan warisannya mbah Umi. semoga. Allahummagfirlaha warhamha wa'afihi wafu 'anha.

No comments: