Monday, February 18

Serunya Ngebut Bareng PO NUSANTARA




Kemarin sore (17/02) ada beberapa BMC balik jakarta naik Nusantara. Ada saya dan ms Yudi dengan NS-19, mas Heru (Khaeruddin Maqdumjati) dengan NS-51?, mas kandidat (Ananto Adji, NS-11), mas Rusdi (NS-61) dan mas Nurby..balik ke Bandung. Mas Heru yang katanya mau balik jam 21.00, ternyata sudah meluncur duluan.

NS-19 keluar dari pool sekitar jam 7-an malam. Rintik hujan mengiringi keberangkan bus kami. Oya, pagi sebelumnya, waktu bus ini datang dari Jakarta sempat mengalami masalah dengan airsuspension-nya. "karet" air suspension-nya pecah lantaran bus menghajar lubang di daerah Demak. Di NS-19 Saya dapat kursi keramat nih, kursi CD. Tapi ga pengen lagi, pegelnya sampe sore belum hilang euy..masih tetep nyaman di kursi deret 1 saja, pemandangan ke depan tetap lapang, tapi juga bisa tidur kalau sudah capek. (Rupanya salah seorang kandidat ketua BMC terinspirasi juga olehku, minta jatah bangku CD). Gimana mas Adji, rasanya duduk di kokpit NA-11? Masih kenceng bus ku kan..hehehe.

Kami beriringan keluar dengan Nusantara putih gambar balon (lupa seri-nya). Bus kami berjalan merayap. Maklum, persis depan pool Nu3tara jalan hancur lebur. Pada saat itu kebetulan ada banyak tronton dan gandengan di depannya. makin komplitlah perjuangan mas Sopir (Mas Solihin?) untuk bisa menginjak pedal gas...

Di depan Nu3tara putih balon, ada Budi Jaya dan Pahala Kencana. Budi Jaya dan PK tanpa kesulitan dibalap NS-19. Nusantara di depanku terus melaju. Tiba-tiba, sekonyong-konyong, mak jegagik, suddenly: Senja Furnindo warna Pink wuzzzzz....ngeblong dari sisi kanan. Busku memang lagi pelan, soale jalan sisi kiri berlubang-lubang. Ga lebih dari 1 menit, si Pink ini bisa disalip lagi NS-19 dari sisi kiri. Tapi ga lama kemudian, lagi-lagi si Pink ini unjuk gigi..wuzzzzz, dan ga pernah kelihatan lagi. (Pagi sekitar jam 8-an, si Pink keluar dari Rawamangun, NS-19 baru masuk).

NS-19 berhenti tiga kali untuk ambil penumpang di agen. Saya ga tahu persis lokasinya di mana, tapi pemberhentian pertama di Demak, kedua dan ketiga di SMG, kalau ga salah terakhir di daerah Krapyak. Bus masih jalan santai, tiba-tiba mas Heru telp, tanya posisiku di mana? Waktu itu NS-19 masih di daerah Demak, sementara mas Heru sudah di SMG. setengah jam kemudian mas Heru sms, memastikan lagi di mana posisiku. MUngkin mas Heru ini sangat "tegang", jangan-jangan NS-51-nya dibalap sama busku. Tapi karena tahu NS-19 masih 30 menitan di belakang, mas heru kayaknya bisikin ke pak Sopir, "tenang aja bang..Belanda masih jauhhhh...:-). Terlebih lagi, busku sempat ada masalah dengan karet pembersih kacanya (wiper). Keduanya bertumbukan, terpaksa berhenti lagi sekitar 10 menit di Kendal. Sama mas kernet, wiper yang kiri direnggangkan ke depan. Meski tetap bergerak, wiper yang kiri tidak menyentuh kaca. Dengan cara manual begini wiper kanan masih bisa berfungsi membantu jarak pandang sopir, mas Solihin. Akhirnya bus mas Heru memang tak bisa terkejar, waktu NS-19 masuk jalan lingkar kendal, NS-51 sudah hampir berangkat lagi dari RM Sari Rasa. wehhh, benar-benar tak terkejar ini bus.

Bus kami, busnya mas Adji, dan busnya mas Rusdi sampai hampir bersamaan di RM sari Rasa. Kira-kira pukul 22.30 WIB. NS-11 persis di belakangku, dan ketika turun, saya bersua lagi dengan mas Adji. Saat itulah, mas Adji tertangkap basah oleh saya : mencermati setiap langkap "si Bening" yang sangat diharapkan bisa duduk bersebelahan dengannya. Tapi apa daya, "si Bening" yang dinilai mas Rusdi 6,5 ini ternyata beda tunggangan---buat mas Rusdi wanita paling bening ya tetap istrinya, salut..type suami setia nih.

lalu jadilah kami bertiga makan rawon bareng. Kata mas Rsudi, "rasa rawonnya aneh",. Aku lahap sekali makan rawon Sari Rasa, saya tidak tahu ini karena rawonnya yang enak atau karena saya yang lapar...:-)

Pukul 11.05, busku berangkat lagi. Kali ini sopir kedua ambil alih kemudi. Saya ga sempat kenalan dengan mas sopir ini. yang jelas, bawanya lebih kenceng ketimbang mas Solihin. Apalagi didukung jalan yang lebih mulus selepas Sari Rasa, dan lalu lintas yang relatif sepi, paling tidak bebas dari lalu lalang motor. Saya ga sempat menghitung berapa banyak bus yang disalip oleh NS-19 selepas Sari Rasa. Selepas tanjakan pertama Alas Roban, Lorena concerto jadi korban pertama. Berikutnya 2 Tri Sumber Urip, termasuk 2 Bintang Jaya (Pariwisata, plat polisi N, karoseri Morodadi Prima), Muji Jaya, Haryanto, PK, Rosin, HJ, GMS, dll. Pertarungan paling sengit sebenarnya malah dengan Nusantara MB 1525, itu lho bus dengan kaca film tujuan Rawamangun. Sejak dari Sari rasa hingga Pamanukan, NS-19 bertukar posisi dengn bus yang satu ini. Memang tidak teruji, driver mana yang lebih yahut, soale setiap bertukar posisi (adu salip) tidak dalam kecepatan maksimal. Misalnya, bus itu sempat disalip NS-19 saat memasuki jembatan, meski masih kencang juga tetapi tidak dalam kondisi top speed. Akhirnya kedua bus juga masuk rawamangun selang beberapa menit, NS-19 pastinya yang duluan.

oya, saya ga sempat melihat NS-19 nyalip KD, dan Raya. Kalau Raya mungkin sudah tidak terkejar, mengingat perbedaan jam berangkat yang lumayan lama. Tapi KD, kemana ini bus. Mungkin saat saya tertidur, ada juga yang disalip. entahlah.

Penumpang "cerewet"

"Hallo", seorang penumpang di deretan kursi paling depan menerima telepon. Suaranya ngebazz banget, "hallo". Ternyata setelah aku toleh usianya masih belasan tahun. Sejak dari Demak, penumpang ini terima telpon beberapa kali, yang dugaanku dari maminya. Dari seberang sang mami coba memastikan perjalanan anaknya baik-baik saja. Si anak, mengadu kalo AC-nya bocor. "Menetes terus ini, tapi ndak apa-apa. Nanti kalau ndak berhenti pakai payung atau rompi aja", katanya dengan logat jawa yang medok buanget. {asli, saya suka banget dengar logat medok jawanya). Saya yang duduk bersebelahan sama mas Solohin berbisik-bisik, "terang saja wong lubang AC-nya ditutup semua, gimana ngga bocor?". Mas Solihin menimpali, "penumpang cerewet", sambil beberapa kali menoleh ke arah penumpang.

Saya maklum kalau mas Solihin agak "sewot". Lha wong saya yang penumpang aja agak risih. Suaranya itu lho, yang ngebazz, medok, dan percekapannya mungkin terdengar sampai kursi paling belakang. Sepertinya dia menyengaja itu agar semua kru bus dan penumpang dengar "ocehannya". Setelah itu si penumpang ini sempat terima telpon sekali lagi, tapi kali ini nadanya sudah berbeda dari sebelumnya. "ndak, ndak apa-apa", katanya terima telpon terakhir kali sebelum akhirnya bus istirahat di Sari Rasa.

Jalan berlubang, sampai kapan?

Hari ini di Kompas aku membaca pernyataan pemerintah kalau jalan di pantura akan diperbaiki setelah musim hujan berakhir. Artinya mungkin masih perlu waktu satu bulan ke depan. Ini kalau merujuk ramalan cuaca BMG bahwa hujan dan cuaca tidak menentu ini baru akan berakhir di bulan Maret.

Kerusakan jalan Pantura yang begitu parah mendorong mas Solihin untuk perpal secepatnya. Dengan kondisi jalan seperti sekarang, para driver bus malam memang butuh tenaga ekstra. Selain harus lebih hati-hati, yang jelas bawa bus malam saat ini jauh lebih melelahkan dari biasanya. "kalau biasanya tinggal nge-Gas dan nge-Rem, sekarang perlu tambahan goyang kanan dan goyang kiri untuk menghindari lubang-lubang itu. "Kemarin malam jalan di sini belum berlubang mas", keluh mas Solihin menunjuk titik-titik lubang di daerah kaliwungu.

Kerusakan jalan Pantura ini memang bukan disebabkan oleh faktor tunggal. Selain cuaca buruk, hujan yang terus-menerus, juga akibat kelebihan beban lalu lalang kendaraan di sepanjang Pantura. Terutama truk-truk tronton dan gandengan yang seringkali membawa muatan di atas ambang batas. Kondisi ini diperburuk lagi oleh kenyataan bahwa kualitas jalan yang dibangun tidak sesuai dengan standar yang seharusnya. para kontraktor mengambil untung dalam proyek perbaikan jalan itu, sehingga kualitasnya dibawah standar.

Bagaimana mengatasi masalah ini ke depan? Pemerintah, dari dulu sudah dikritik tidak serius menertibkan kendaraan-kendaraan berat. Jembatan-jembatan timbang yang tersebar di sepanjang jalan Pantura diduga sebagai sarang pungli. Sehingga truk-truk yang seharusnya tidak lolos, bisa tetap jalan karena membayar sejumlah uang kepada petugas jembatan timbang.

Apakah pemerintah bisa langsung bertindak tegas menertibkan truk-truk/tronton yang kelebihan muatan? Rupanya tidak semudah itu memecahkan masalah ini. Selain harus berhadapan dengan birokrat di lapangan yang sudah pasti sulit "dijinakkan", pengurangan muatan truk/tronton itu ternyata punya implikasi lain. Katakanlah sebuah truk yang biasanya membawa muatan 30 ton, lalu dipangkas separonya, maka perusahaan yang bersangkutan akan menambah/menyewa satu truk tambahan. Jika ini terjadi pada 100 perusahaan, maka akan ada penambahan truk di pantura dua kali lipat. Kalau ini terjadi, Pantura akan semakin sesak. Dampaknya adalah terjadi kemacetan. Karena itu bisa dimengerti jika pemerintah akan secara bertahap menguragi jumlah beban truk-truk/tronton di pantura. Dari 10 persen, ke 20 persen, lalu 30 persen, dan akhirnya 50 persen. (atau terbalik nih?)

1 comment:

Aliansi Perokok Indonesia said...

lah... saiki dadi sopir, to...

eh, mentang-mentang rambutmu kayak potongan polisi, ya... mau laporin aku ke polisi. Bukannya sampeyan polisi. Polisi kok lapor polisi... eh... gimana dengan lalu lintas watchnya... jadi tidak.. aku bikin webnya... ya.....