Monday, March 24

Tukang Becak Pasar Legi Ponorogo

"Monggo becakipun mas, badhe tindak pundi tho?", tanya tukang becak menawariku begitu turun dari bus. Aku acuh. Begitupun penumpang lain. Beberapa kuperhatikan langsung menghampiri sepeda motor yang dugaanku adalah keluarganya yang memang telah siap menjemput. Bukan tukang ojek !

Sengaja aku menolak tawaran tukang becak itu. Tujuanku turun di pojok Pasar Legi karena ingin naik ojek biar cepat sampai ke tujuan. Sayangnya aku tidak beruntung malam itu. Ternyata tak satupun tukang ojek yang mangkal di pojok Pasar Legi. Akhirnya kuputuskan untuk mendekati tukang becak tadi.

"Perempatan arah Gontor berapa, Pak?", tanyaku ke tukang Becak. "Gangsal ewu mawon mas (lima ribu rupiah saja mas)", katanya. Tanpa menawar aku langsung mendudukkan bokong di becak. Lima ribu rupiah, bukan ongkos yang mahal dibanding jarak yang harus ditempuh. Makanya aku langsung setuju. Untuk jarak yang sama, ongkos naik bentor (becak motor) di Aceh bisa 10-15 ribu. Apalagi malam hari, bisa naik 20 atau 25 ribu. Hmm....Aceh memang beda, ya orangnya, ya ongkos ekonominya. Adapun tukang becak Pasar Legi itu, buatku adalah ongkos kejujuran. Dia menawarkan ongkos yang wajar, tidak ada keinginan untuk mengambil untung dari penumpang, meski dia tahu penumpangnya adalah orang asing. Bukan penduduk ber- KTP Ponorogo !

Dikayuhnya becak itu. Badannya yang ceking dan umurnya yang sudah senja tidak memungkinkan dia mengayuh cepat. Aku nikmati saja kayuhannya, pelan tapi pasti. Usianya aku taksir sekitar 50-60-an tahun. Susah menebak usia orang yang berprofesi sebagai tukang becak. Kadang wajahnya jauh lebih tua dari umur yang sebenarnya. Kerja keras, siang dan malam, sementara penghasilan pas-pasan pasti berpengaruh langsung terhadap daya tahan fisiknya. Penuaan dini, mungkin istilah para ahli kecantikan ini paling pas mewakili.

Setelah mampir sebentar beli rambutan, si Bapak ini bercerita panjang lebar tentang petualangannya menjadi tukang becak. "Saya ngayuh becak sudah 40 tahun lebih mas", katanya. Pertama kali ngayuh becak di Madiun. Dulu si Bapak ini biasa mangkal di Pasar Besar Madiun. baru tahun 80-an si Bapak pindah ke Pasar Legi, Ponorogo.

Aku tidak enak menanyakan berapa penghasilannya dalam sehari. Katakanlah perhari dia antar 10 orang, maka penghasilannya 50 ribu rupiah. Tetapi aku tidak yakin kalau dia bisa dapat 10 orang penumpang per hari. Apalagi saat ini penumpang tidak seramai dulu. Penyebabnya apalagi kalau bukan munculnya tukang ojek, dan hampir setiap orang sekarang punya kendaraan roda dua. Makin berkuranglah penghasilannya. Untuk menambah penghasilan, si Bapak ini kalau pagi jadi pemulung. "Lumayan, mas", katanya sambil menyebut harga botol bekas "aqua" yang tidak kuingat.

Si Bapak tidak punya tempat tinggal tetap. Saban hari tidurnya ya di emperan toko Pasar Legi. Istrinya sudah pisah. Anak-anaknya sudah lima tahun merantau ke Batam dan tidak pernah ada khabar. Entah masih hidup atau sudah mati, bapak ini tidak tahu.

Rupanya aku terlalau asyik ngobrol. Tempat--perempatan arah Gontor-- yang aku tuju ternyata salah. Alamak, aku kesasar! Bukan perempatan Gontor rupanya. Akhirnya aku menjelaskan ke tukang becak tempat yang aku maksud. Hmm...jaraknya menjadi dua kali lipat dari ongkos yang sudah disepakati. Tidak masalah yang penting sampai, meski harus menyita waktu setengah jam sendiri. Padahal kalau dapat ojek bisa ditempuh dalam waktu 10 menit.

Setelah sampai di perempatan yang aku maksud, aku turun. Kusodorkan ongkos kepada tukang becak itu. Begitu kusodori uang 20 ribu, tukang becak itu mengucapkan terima kasih dan buru-buru menyalami. "Matur nuwun mas, matur nuwun", kata tukang becak itu dengan wajah berseri. Hmm, rasanya ini kejadian pertama, disalami tukang becak. Aku maklum, mungkin dia bersuka cita setelah menerima ongkos lebih dari yang seharusnya. (*).

No comments: