Monday, March 31

Beternak Parpol Hadapi Pemilu 2009

Pemilu 2009 masih lama. Meski begitu para pekerja politik sudah menunjukkan birahinya. Ya, birahi untuk merengkuh kekuasaan. Tengok saja, di sudut-sudut Jakarta saat ini sudah bertebaran poster Capres-Cawapres. Ada yang masih malu-malu, ada pula yang secara vulgar menjual diri. Harapannya, apalagi kalau bukan meraih simpati rakyat. Satu dari sekian poster itu ada di dekat kantorku. Capres-Cawapres yang menjual diri adalah Prabowo Subianto dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Idealkah pasangan itu? entahlah. Buatku tidak. Sri Sultan bolehlah untuk dijual, tapi Prabowo?

Birahi politik juga terlihat dari bermunculannya partai politik baru. Mungkin ada belasan atau malah puluhan partai politik baru yang saat ini tengah diverifikasi Dept. Hukum dan HAM. Berapapun partai baru yang lolos dari verifikasi itu yang pasti jumlah konteskan pemilu 2009 makin membengkak. Siapa yang paling diuntungkan dengan bermunculannya partai baru tersebut? Tidak ada, kecuali si "Peternak" parpol yang memang suka gonta-ganti baju itu. Makin banyak parpol, makin banyak timbul masalah. Krisis negara ini tak bisa diselesaikan dengan memperbanyak jumlah parpol. Dus, banyaknya parpol tak pernah signifikan dengan tingkat keberhasilan mengelola negara ini. Justru sebaliknya, makin banyak parpol, makin banyak kepentingan kelompok yang bermain. Artinya ini semakin menyulitkan semua komponen bangsa ini untuk kompak bersatu membangun negara.

Parpol baru, masalah baru. Parpol baru, konflik baru. Parpol baru, tidak lebih dari simbol betapa bunga demokrasi di Indonesia sedang mekar-mekarnya. Lainnya hanya omong kosong belaka. Para pendiri parpol baru itu tak lebih dari pecundang. Dengan pintarnya berpura-pura untuk menyelamatkan bangsa dari jurang penderitaan, terpanggil untuk mengabdi, ingin mengatasi kemiskinan serta jargon-jargon omong kosong lainnya. Semua jargon itu sejatinya mereka suarakan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Tidak lebih. Jika mereka benar-benar ingin menjadi negarawan, mengabdi untuk rakyat, panggilan nurani dan segudang alasan lainnya, mengapa tidak bergabung saja dengan partai yang sudah eksis? Mau ke Golkar, silakan. Mau ke PDIP, silakan. Mu ke PPP, silakan. Bahkan kalau mau ke PKS ya silakan saja. Tidak ada larangan.

Lagipula, apapun nama, simbol, cita-cita dan segala atribut kepartaian tidak ada yang membedakan parpol yang satu lebih baik dari parpol yang lain. Semua parpol pada dasarnya sama (maksudnya sama-sama pecundangnya sekaligus pemenang). Apakah yang mengikatkan diri dalam simbol agama, nasionalis, nasionalis-religius sekalipun seperti jargon barunya Demokrat (mungkin cak Anas Urbaningrum yang menelorkan jargon ini?) Mengapa semua parpol pada dasarnya sama? ya, karena mereka semua, orang-orang di dalamnya cuma tujuan satu, merebut dan mempertahankan kekuasaan. Jika dalam praktek ada orang-orang dengan segala kesopanan dan kesantunannya menunjukkan keberpihakan kepada orang banyak, itu lebih karena pribadi orang bersangkutan. Bukan karena parpolnya. Jadi, para pekerja politik itu baik atau buruk, akhirnya kembali kepada ke individu masing-masing.

Sampai hari ini tetap sulit dipahami, mengapa orang-orang terus menerus mendirikan partai politik baru? Mereka para 'peternak' ini memang patut diragukan niatan awalnya mendirikan parpol. Wong buat parpol kok layaknya buka dasaran di pinggir-pinggir jalan. Gelar tikar, taruh barang dagangan, pembeli datang, terjadi transaksi, habis itu gulung lagi tikarnya. Selesai sudah hajatan buka dasarannya. Sama juga, tamat lah riwayat parpol-parpol baru yang tak lulus ketentuan syarat minimal jumlah pemilih. Kembali masuk kotak, pemilu berikutnya siapkan partai baru lagi. Kalau kalah lagi, ya bikin partai baru lagi. Begitu seterusnya sampai usianya habis dimakan jaman........

No comments: