Tuesday, September 16

21 orang Mati jadi tumbal 'Zakat'

Miris benar ngikutin berita dua hari ini. Hanya untuk mendapatkan 30 ribu perak, 21 orang mati terinjak-injak. Hanya 30 ribu, ya hanya 30 ribu. Jumlah uang ini mungkin tidak ada artinya bagi sebagian orang di Jakarta. Uang itu mungkin hanya bisa ditukar dengan 2 piring nasi padang, atau 3 piring nasi warteg. tetapi bila harus ditukar dengan nyawa? Sungguh betapa tidak berharganya nyawa manusia di negeriku ini.

Eiit..eitt, tapi tahan dulu. Bisa jadi uang itu tidak ada artinya bagi sebagian warga Jakarta. Sedangkan seorang tukang parkir, tukang lapak, penjual asongan, atau pemulung sekalipun di Jakarta dalam sehari bisa memperoleh 2 kali bahkan mungkin 3 kali lipat dalam sehari. Tetapi, bagi 21 orang yang ikut menjadi tumbal ngantri sedekah itu, jumlah uang itu pasti sangat-sangat berarti. bagaimana tidak berarti, jika mereka rela harus datang jauh-jauh, mengantri seharian di rumah pak Soikhon itu. Mungkin, bagi orang-orang ini, 30 ribu bisa untuk menyambung hidup 2, 3, bahkan empat hari. hitungan ini bisa masuk akal, andai sepiring nasi di desa-desa tempat korban itu berasal bisa dibeli dengan harga 2 atau 3 ribu perak.

Anda pasti berpikir, mana ada nasi sepiring seharga 2 atau 3 ribu perak? Ada, percayalah. Masih banyak orang di pelosok negeri ini yang bisa hidup hanya dengan membelanjakan uang 5-10 ribu perak sehari. tentu tidak fair kalau membandingkan menu yang mereka makan dengan menu keseharian mayoritas orang di Jakarta. Jangankan makan sepiring nasi, sedangkan tarip kencing saja di jakarta 1000 perak, beli sebotol air mineral bisa 3 ribu perak, atau tarif parkir progresif di mall-mall yang bisa berlipat-lipat. Tapi, di desa orang tidak perlu uang kencing, uang parkir atau uang buat beli sebotol air mineral. Mereka bisa parkir---kalau ada yang diparkir---di mana aja mereka suka. Bebas bea. Mereka juga tak perlu susah-susah beli air mineral, karena air bersih banyak tersedia di kampung-kampung. Kalau perlu cukup menciduk dari sumur atau sumber mata air yang ada.

Yang aku habis tidak pikir, kenapa Pak Soikhon masih menggunakan cara konvensional ini, meski tahun lalu tindakan 'gegabahnya' sudah merenggut nyawa dua orang. Apakah pak Soikhon tidak percaya terhadap lembaga amil zakat? Apakah Pak Soikhon ingin meneguhkan diri sebagai seorang dermawan di kampungnya? Mengapa dia tidak melibatkan polisi padahal mengundang ribuan orang di lokasi yang rentan dan berisiko tinggi? Mengapa..mengapa...mengapa?

Dulu, waktu kelas empat SD, aku ingat persis bagaimana bu Chusnuraini mengajukan pertanyaan, "apa singkatan BAZIZ?". Dan aku satu-satunya yang bisa menjawab saat itu, Badan Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh. Tentu aku ingat, karena papan nama kantor ini aku lewati setiap hari kalau mau berangkat sekolah diniyah. Dan kebetulan, Baziz di desaku dulu pernah memperoleh penghargaan terbaik tingkat provinsi.

BaZIZ, atau di tingkat nasional sekarang ada BAZNAS, seyogyanya bisa menjadi alternatif penyaluran zakat, sedekah bagi orang-orang yang kelebihan harta. Tempo hari, seseorang dari PKPU bercerita kalo aset yang dikelola BAZNAS saat ini sudah mencapai ratusan miliar. Bukan angka yang kecil, dan berpotensi menggelembung lagi di tahun-tahun mendatang.

Cerita 'sukses' BAZNAS adalah cerita baik. Cerita tentang performance umat Islam dalam mengelola aset ekonominya. Semoga saja kemajuan BAZNAS dalam mengelola harta zakat ini paralalel dengan dengan kemajuan bank-bank syariah.

No comments: