Thursday, September 18

Indeks Korupsi Meningkat, Mantan Aktifis Diduga Terima Suap

Belum lama berselang, SBY dengan bangga mengumumkan hasil kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia. Pernyataan SBY didasarkan hasil release transparancy International Indonesia (TII), yang menyebutkan bahwa peringkat Indonesia naik 34 digit, dari sebelumnya berada di urutan 3 dari bawah di tahun 2007 menjadi urutan 37 dari bawah. Lompatan peringkat ini tentu saja membanggakan, bagi SBY sendiri dan jajaran kabinetnya juga bagi rakyat seperti saya.

Capaian peringkat korupsi itu tentu tidak lepas dari kerja keras KPK, dimana sejak dibawah pimpinan Antasari Azhar berhasil menyeret banyak koruptor ke meja pesakitan. Kasus aliran dana BLBI, kasus alihfungsi hutan lindung di Kepri dan terakhir suap menyuap anggota KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) dalam kasus Astro. Cerita sukses KPK dalam menyeret pelaku koruptor ke meja hijau ini bagaimanapun memberikan secercah harapan akan adanya penyelenggaraan negara yang bersih, bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme yang selama puluhan tahun menjadi candu bagi para pejabat publik.

Sayang seribu sayang, ditengah kegembiraan SBY mengumumkan membaiknya indeks korupsi di Indonesia, publik dikejutkan oleh berita penangkapan kasus suap terhadap anggota KPPU. Pada kasus terakhir di atas, KPK menangkap tangan salah seorang anggota KPPU dengan isial MI, Presdir PT First Media BS, asisten BS berinisial BD, sopir MI berinisial BR, dan office boy Hotel Aryaduta berinisial G. MI ditangkap KPK di dalam lift dengan sangkaan menerima suap sebesar 500 juta rupiah. Informasi yang beredar menyebutkan, suap ini ada kaitannya dengan keputusan KPPU yang memenangkan PT Direct Vision dan Astro All Asia Networks, PLc dalam kasus monopoli hak siar Liga Inggris. Berdasarkan keputusan KPPU, PT Direct Vision dan Terlapor II: Astro All Asia Networks, Plc, dinyatakan tidak terbukti melanggar Pasal 16 UU No 5 Tahun 1999.

Ironis memang. KPPU adalah lembaga pemerintah. Dengan munculnya kasus ini pemerintah seperti tertampar. Indeks prestasi yang baru saja dibangga-banggakan SBY sepertinya menjadi tidak berarti. Saya tidak bisa membayangkan ekspresi SBY begitu mendengar kasus ini. Apakah dia merasa tercoreng-moreng atau justru malah bangga karena KPK sekali lagi menunjukkan tajinya, menyeret tersangka kasus suap.

Ada persoalan lain yang membuatku tidak habis pikir, yaitu ucapan simpati dan dukungan moral di beberapa milis yang memberikan kesaksian bahwa MI adalah orang baik, dan sangat idealis. "Rumahnya sederhana, mobilnya dari dulu juga yang itu-itu saja," ujar salah seorang anggota di milis yang aku ikuti. Namun, tidak sedikit juga yang mengutuk perilaku MI ini. Katanya, orang ini tetep ndableg, dan makin meneguhkan perbuatan kotor orang-orang sebelumnya yang kebetulan punya background organisasi yang sama. Beberapa orang mencoba bersikap obyektif, tidak ikut prihatin, juga tidak ikut bersedih.

Dari beberapa komentar yang muncul mensikapi kasus ini, saya berkesimpulan bahwa : 1. Orang yang merasa mengenal dan tahu sepak terjang tersangka, cenderung 'membela' dan ikut bersimpati terhadap MI. Bahkan ada juga diantaranya yang langsung mengutuk tindakan KPK; 2. Orang yang tidak mengenal sama sekali tersangka, meski tahu latarbelakangnya, umumnya mengecam, dan mempercayakan penanganan kasus ini dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah. Tidak sedih, juga tidak menyampaikan simpati. Dan saya termasuk kelompok yang kedua ini.

Benar, bahwa MI memiliki kaitan historis di organisasi yang kebetulan saya pernah jadi anggota dan pengurus di dalamnya. Namun, saya berusaha untuk jernih melihat persoalan, tidak membabi buta memberikan dukungan hanya karena MI pernah sama-sama satu 'almamater'. Saya berharap, bila MI memang benar-benar bersalah tetap akan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Tetapi bila ternyata sangkaan KPK itu tidak benar, menjadi kewajiban KPK untuk memulihkan nama baik tersangka. Bagaimanapun, pemberitaan MI di media massa pasti membuat dia dan keluarganya berada dalam tekanan.

No comments: